Quantcast
Channel: KlabKlassik Bandung
Viewing all 90 articles
Browse latest View live

Ketika Industri Indonesia Menodai Ska

$
0
0
Minggu, 2 Juli 2012


KlabKlassik Edisi Bincang-Bincang kali ini menghadirkan pembicara Rahardianto. Ia adalah orang yang sama yang juga mempresentasikan tentang black metal dua bulan silam. Kali ini, pengetahuan musiknya yang luas mengajak para peserta untuk menyelami sejarah musik ska. 

Rahardianto (Kanan)
Pada mulanya, pembahasan mengenai musik ska ini tidak menimbulkan ketertarikan. Alasannya, imej ska di Indonesia sudah dinodai oleh industri yang menghasilkan band-band seperti Tipe-X dan Tiger Clan. Namun kata Rahar, "Jangan khawatir, band seperti Tipe-X pun tidak terlalu dianggap serius di antara scene anak-anak ska." Dalam arti kata lain, Rahar akan memperlihatkan sejarah ska yang panjang dan tidak jarang juga mengusung misi-misi yang ideologis. Pada titik itu, barangkali kita bisa menilai bahwa ska pada mulanya tidak sedemikian punya imej hipster, setidaknya sebelum dijatuhkan oleh industri musik Indonesia.

Seperti biasa, Rahar menjelaskan kronologi musik ska ini secara runut. Pertama, ia hendak meluruskan persepsi kita bahwa reggae bukanlah akar segala musik di Jamaika. Justru ska lah yang menjadi akar dari reggae. Bahkan ska sendiri diawali oleh jenis musik lain yang bernama shuffle. Shuffle ini muncul di Jamaika dari sejak tahun 1950-an dan merupakan respons terhadap pengaruh-pengaruh "Barat" seperti jazz dan blues. Apa yang membuatnya jadi ska, adalah ditengarai sebagai hasil buah pikir Prince Buster. Ia mengubah musik yang tadinya downbeat menjadi upbeat, inilah yang menjadi kekuatan ska hingga hari ini. "Ska kekuatannya bukan di brass section, itu yang menjadi kekeliruan persepsi banyak orang," tambah Rahar.

Prince Buster tadi memelopori apa yang dinamakan sebagai ska gelombang pertama (1st wave). Band lainnya, kata Rahar, adalah Desmond Dekker, Toot and The Maytals, dan Lord Tanamo. Setelah itu, Rahar sendiri masuk ke gelombang kedua (2nd wave) yang sering disebut juga sebagai two tone ska. Ska yang ini dikembangkan di Inggris dan digabungkan dengan punk. Band-band seperti The Specials, Madness, dan Bad Manners adalah beberapa pengusungnya. Two tone ska ini yang menurut Rahar punya pesan-pesan anti-rasisme. Two tone melambangkan hitam dan putih yang menggambarkan warna kulit. Terlihat dari personil band-nya yang memang seringkali diisi oleh personil dari kulit hitam maupun putih.

The Specials
Penjelasan Rahar yang berlangsung kurang lebih sejam ini, mengandung pengetahuan yang bergizi. Misalnya, ia menyelipkan skank, yaitu istilah untuk gaya tarian dalam merespon musik ska (bukan pogo yang selama ini kita kenal). Lalu juga istilah rude boys yang mengacu pada penggemar ska yang pada masa itu sering berdandan ala american gangster dan terlibat kriminal. Rahar juga menyinggung kemunculan 3rd wave yang muncul di AS pada sekitar tahun 80-an. 3rd wave ini pun terbagi dua wilayah, yang pertama adalah wilayah Bay Area yang lebih independen, yang kedua adalah wilayah Orange County yang notabene lebih ke arah industri. Setelah itu disinggung lebih banyak tentang perpaduan ska dengan musik-musik lain seperti skacore dan skajazz, sekaligus mempertanyakan kehadiran 4th wave yang belum sanggup dirumuskan oleh para kritikus.

Pemaparan Rahar ini membawa pada diskusi yang tak kalah menarik. Misalnya, Diecky begitu curiga bahwa musik seringkali direspon secara kreatif justru dari para kulit hitam. Ini sudah mulai sering didengungkan sejak perbincangan tentang blues, ragtime, dan jazz. Sekarang, cukup mengejutkan setelah ska ternyata juga dikembangkan oleh orang-orang kulit hitam. Jazzy mempercayai hal tersebut sebagai, "Setiap ada manusia berkumpul, pasti mereka menciptakan kultur. Ini agaknya lumrah dalam segala kondisi. Hanya patut diakui bahwa apa yang diusung oleh orang-orang kulit hitam ini survive. Menurut saya, ada kok kebudayaan yang tidak survive karena selain tidak dilanggengkan oleh kekuasaan, mereka sendiri tidak mempunyai 'kebagusan' dalam dirinya sendiri."

Memang pada akhirnya mesti diakui. Jika berbicara soal kekuasaan, biasanya kita bicara orang-orang kulit putih. Orang kulit putih seringkali "berjasa" dalam melakukan resureksi musik-musik orang kulit hitam. Dan tidak seperti dugaan banyak orang bahwa musik orang kulit hitam itu lantas dijadikan musik borjuis orang-orang kulit putih, kata Rahar justru orang kulit putih itu juga memakainya di kalangan working class alias buruh.

Apa yang dipaparkan Rahar panjang lebar mengubah mindset para peserta diskusi 180 derajat. Membuat ska yang sempat dicap sebagai musik hipster di kalangan penggemar di Indonesia, ternyata punya sejarah panjang dan bernilai. Ini lagi-lagi sebuah kritik serius terhadap industri musik Indonesia yang seringkali tidak pernah menghasilkan band-band yang "mengerti" betul nilai-nilai historis. Walaupun ada, kata Rahar, seperti Jun Fan Gung Foo yang katanya cukup punya banyak referensi. Sekali lagi, ketika musik hanya ditujukan agar menjadi ledakan sesaat diantara para hipster, maka jangan sedih jika selera musik masyarakat juga timbul tenggelam, tidak ajek, dan -yang paling parah- tergantung pada apa yang dimaui industri.



Classical Guitar Fiesta 2012!

Classical Guitar Fiesta 2012: Dari Ririungan Gitar Bandung hingga Jubing Kristianto

$
0
0

Jumat, 13 Juli 2012
 
KlabKlassik, untuk keempat kalinya, berhasil menggelar acara dwitahunannya yaitu Classical Guitar Fiesta. Acara yang keempat ini -seperti acara yang kesatu dan ketiga- diselenggarakan di Auditorium IFI-Bandung. Bintang tamunya adalah gitaris yang secara nasional sudah malang melintang, yakni Jubing Kristianto.

Ririungan Gitar Bandung. Foto oleh Adrian Ben.

Konser yang menampilkan ragam pemain gitar ini, memulai acaranya dengan ensembel Ririungan Gitar Bandung. Ensembel gitar yang dibuka untuk umum ini (rutin mengadakan latihan di Tobucil), menampilkan satu lagu karya Mozart berjudul Romance yang merupakan bagian dari Eine Kleine Nachtmusic. Setelah dibuka dengan tampilan cukup meriah, berikutnya yang tampil adalah para solois mulai dari William Ryan, Maria Elsa, Leonardus Satryo Wicaksono, Gregorius Jovan Kresnadi, Febian Natanael, Christian Indra Lesmana, Henry Dimas Krishnanda, Dennis Hadrian dan Donny Dwiputra. Mereka tampil dengan karya-karya beragam mulai dari yang berasal dari jaman klasik, romantik, modern, hingga populer.
Maria Elsa. Foto oleh Adrian Benn

Setelah istirahat sejenak sekitar sepuluh menit, Classical Guitar Fiesta menggeberpenonton dengan beberapa solo gitaris semisal Kevin Cahyady, Ryan Sentosa, Dicky Salam, Timmie Reynaldi dan Teja Kusuma. Setelah para solis itu, ada penampil yang agak berbeda yaitu Rendy Lahope dan Joseph Sinaga. Keduanya ini menampilkan duet gitar dan flute membawakan karya Piazzolla. Semuanya ini mengantarkan penonton pada bintang tamu yang amat dinanti-nanti yaitu Jubing Kristianto.

Rendy  Lahope dan Joseph Sinaga. Foto oleh Adrian Benn.
Jubing Kristiano, gitaris yang paling banyak memenangkan Yamaha Festival Gitar Indonesia kategori pop ini, menggebrak hadirin dengan lagu Winter Games karya David Foster. Setelah itu, ia juga tidak luput memainkan karya yang cukup terkenal dari albumnya yang terakhir, Hujan Fantasy. Kurang puas dengan tiga lagu yang dimainkan Jubing, penonton menyuarakan encore agar Jubing tidak segera turun panggung. Hingga akhirnya, karena malam yang sudah terlalu larut, Jubing terpaksa mengakhiri penampilannya dengan lagu Bohemian Rhapsody yang merupakan pesanan salah satu penonton.

Setelah penampilan Jubing berakhir, berikutnya adalah penutupan yaitu pembagian sertifikat dan piala pada seluruh penonton. Tak hanya itu, ada juga pembagian doorprize dari Prim’s Guitars yaitu gitar seharga tujuh juta rupiah. Yang berpeluang mendapatkan gitar ini hanyalah para peserta (baik yang lolos ataupun tidak lolos) audisi. Akhirnya, nomor undian yang keluar adalah milik Gregorius Jovan Kresnadi. Jovan adalah anak berusia sekitar dua belas tahun yang baru lulus SD. Ketika diwawancara apa perasaannya setelah memenangkan undian ini, ia tidak bisa bicara, hanya gemetar sambil berkaca-kaca.

Classical Guitar Fiesta adalah konser yang pengisi acaranya dibuka untuk umum. Setelah mendaftar, calon pengisi acara kemudian diaudisi, agar bisa menyesuaikan dengan waktu yang disediakan panitia. Setelah lolos audisi, peserta berhak tampil di acara Classical Guitar Fiesta beserta bintang tamu yang berbeda-beda setiap audisinya. Tahun 2006, Classical Guitar Fiesta mengundang Royke B. Koapaha, tahun 2008 adalah Jubing Kristianto, sedangkan tahun 2010 yang dihadirkan adalah Phoa Tjun Jit.

Sampai jumpa di Classical Guitar Fiesta 2014!

Klab Klassik Edisi Nonton : Nosferatu A Symphony of Horror (1922) “Vampire terseram sepanjang masa”

$
0
0
Minggu, 22 Juli 2012
Pukul 15.00 s/d selesai
Tobucil, Jl. Aceh No. 56
Gratis dan terbuka untuk umum

Cerita tentang vampir penghisap darah dari kastil tinggi pegunungan carpathian, Romania yang berjuluk count drakula ini masih menyimpan banyak misteri dimana sesungguhnya figur drakula sendiri ialah adaptasi sang penulis Bram Stoker terhadap tokoh nyata Vlad the impaler seorang penguasa pelindung kristiani di daratan eropa timur. Drakula ialah makhluk terkutuk yang hidup abadi menyambung hidupnya dengan cara menghirup darah manusia, memiliki kemampuan mistis bisa mengubah dirinya menjadi kelelawar, menghipnotis binatang dan manusia, tidur didalam peti jenazah jika siang dan drakula hanya bisa dibunuh sebelum matahari terbenam dengan cara menusuk jantungnya dengan pasak atau salib kayu. Seperti itulah drakula yang digambarkan oleh bram stoker


Friedrich Wilhelm Murnau sutradara asal jerman sangat terkesan dengan kisah tersebut, hingga ia terobsesi membuat filmnya, mengambil judul “Nosferatu Ein Symphonie Des Grauens (judul baratnya ialah Symphony of Horror) film yang merupakan adaptasi 100 % dari novel drakula tersebut digugat hak cipta oleh janda sang penulis, florence stoker menuduh murnau sebagai plagiat dan pengadilan akhirnya mengabulkan gugatannya dengan menghancurkan seluruh copyan film ini dari peredaran pasar, walaupun akhirnya setelah florence stoker meninggal akhirnya film ini diangkat kembali dengan beberapa perubahan nama karakter untuk menghormati mendiang bram stoker, contohnya seperti Count Dracula dirubah menjadi Count Orlok, Jonathan Harker menjadi Thomas Von Hutter, dan apabila dalam novelnya drakula berlayar dari transylvania ke london, inggris maka di film ini diganti menjadi ke wishburg jerman, karakter kunci seperti Prof. Van Helsing dihilangkan oleh murnau.


Apabila kebanyakan film horor genre vampir sekarang menggambarkan drakula identik dengan casanova berwajah tampan karena untuk menarik perhatian mangsa wanita seperti yang terjadi di film “interview with the vampire” mungkin hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh karakter drakula oleh Bela Lugosi di tahun 1931, namun dalam Nosferatu visualisasi count orlok ialah tinggi kurus, botak, telinga panjang seperti setan, gigi depan seperti tikus dan kukunya yang sangat panjang membuat tokoh orlok sangatlah tidak “manusiawi” dan menakutkan untuk dilihat. Konon sang tokoh yang menjadi count orlok yaitu aktor watak Max Schreck (Schreck dalam bahasa jerman artinya teror) ialah aktor yang sangat metodis untuk menjiwai perannya sebagai vampire, ia tidak pernah melepaskan make up dan selalu muncul dihadapan para kru syuting hanya ketika malam hari, rumor mengatakan jika Max Schreck sebenarnya ialah vampir asli yang berperan menjadi aktor film, di tahun 2000 kisah dibalik pembuatan film nosferatu yang fenomenal ini kembali difilmkan dengan judul “Shadow of the Vampire” dimana John Malkovich berperan menjadi F.W.Murnau dam Willem Dafoe menjadi Max Schreck, dan dafoe meraih oscar best supporting actor untuk aktingnya yang brilian, remake film ini dibuat kembali mencekam di tahun 1979 oleh sutradara Werner Herzog dengan judul “Nosferatu The Vampyre” dan aktor jenius Klaus Kinski menjadi sang nosferatu.

Scoring film ini sangatlah cerdas, string section yang menghiasi kebisuan film ini bisa menghadirkan atmosfir yang mencekam sepanjang waktu, gestur max schrech sebagai nosferatu sang vampire di film ini tidak akan terlupakan, film ini berdurasi 82 menit dan sangat menakutkan.

Mengapresiasi Nosferatu (1922): Kesan Seram bukan Melulu dari Musik

$
0
0
Minggu, 22 Juli 2012


KlabKlassik Edisi Nonton kali ini, Yunus Suhendar sebagai koordinator membawa film klasik Nosferatu karya F. W. Murnau. Karena di waktu yang sama, di beranda Tobucil sedang ada acara Aliansi Jurnalis Independen (AJI), maka acara nonton dipindahkan ke bagian dalam Tobucil.
Nosferatu adalah film bisu berdurasi 97 menit yang diambil dari novel Bram Stoker yang terkenal berjudul Dracula. Berkisah tentang Jonathon Harker yang mendapat surat dari Count Dracula untuk berkunjung ke kastilnya. Untuk apa? Dracula ingin mencari rumah di dekat warga, ia meminta orang untuk membantu surveinya. Namun Harker mencium ada banyak keanehan dari Dracula ini, misalnya, ketika tangannya berdarah karena tergores pisau, Dracula terlihat bergairah dan langsung mengisap darah itu dari tangan Harker. Harker juga di suatu pagi menemukan bahwa lehernya ada dua tanda bekas digigit. Beruntung ada istri Harker bernama Ellen yang sedemikian punya firasat kuat terhadap apa yang terjadi pada suaminya. Setelah membaca buku panduan Dracula, ia menemukan bahwa Dracula bisa dimusnahkan jika seorang wanita dengan hati bersih menyerahkan darahnya untuk dihisap. Ellen berkorban, Count Dracula mati, Harker pun selamat.
Meski musiknya terbilang datar dan tidak ada kejutan-kejutan khas film horror, namun Nosferatu membuat kita tercekam lewat sosok drakula-nya itu sendiri. Ditambah lagi, film yang hitam-putih membuat fokus menjadi lebih tertuju pada sosoknya, bukan dilapisi oleh pesona warna-warni seperti dalam Dracula versi Francis Ford Coppola. Dracula yang disebut terakhir ini, memang juga memiliki sosok Drakula yang menakutkan, namun “keberwarnaan” si film membuat sosoknya tetap nyaman bagi mata.
Hal ini menjadi bahan diskusi yang menarik. Kata Yunus, “Film horror Indonesia misalnya, lebih menekankan pada efek kejut lewat audio. Sehingga jika kita ingin menghindari rasa takut, lebih baik menutup telinga daripada menutup mata. Namun Nosferatu ini kita begitu dihantui oleh visualisasi Count Dracula yang diperankan Max Schreck.” Ia sendiri mengaku mendapat rekomendasi film ini dari Ismail Reza, yang mengatakan bahwa inilah Drakula paling seram sepanjang masa. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi Tobing Jr., penggiat komunitas Layarkita yang juga menjadi peserta nonton bareng kemarin, bahwa film horror Indonesia sudah diwarnai ketidakbermutuan seperti Nenek Gayungatau Mama Minta Pulsa. “Mereka semestinya belajar dari film horror seperti Nosferatuini. Kebanyakan sutradara lokal minim referensi. Hanya berkarya dan berkarya, tapi jarang mengacu pada film-film bagus. Sehingga karyanya menjadi kurang baik. Efeknya? Apresiasi penonton menjadi rendah. Lihat betapa kosongnya bioskop ketika Lewat Djam Malam-nya Usmar Ismail diputar. Berbanding terbalik ketika film-film seperti Pocong diputar.” 
Pernyataan kritis seperti ini selalu direspon secara klasik: Realistis dong, hidup ini kan butuh uang. Siapa yang mau bayar untuk nonton film seperti Nosferatu?


Syarif Maulana

KlabKlassik Edisi Playlist #15: Inspiration vs Plagiarism

$
0
0
Minggu, 29 Juli 2012
Pk. 15.00 - 17.00
Tobucil, Jl. Aceh no. 56
Gratis dan Terbuka untuk Umum

> Latar Belakang Edisi Kali Ini

Plagiarisme secara sederhana dapat didefinisikan sebagai tindakan mengambil hasil karya orang lain dan menyatakannya sebagai karya pribadi. Secara hukum, plagiarisme termasuk pelanggaran hak cipta. Terkait dengan musik, ada dua aspek yang bisa ditelaah lebih lanjut yaitu aspek musikal (melodi, motif) dan aspek sampling (hasil rekaman yang dipakai ulang). Tidak hanya tentang keseluruhan lagu, tetapi juga bagian-bagian kecil di dalamnya.

Sangat banyak kasus tuduh-menuduh plagiarisme dalam musik kita dengar. Biasanya, pembelaan pertama yang dikemukakan adalah: inspirasi. Apakah ini membuat proses pencarian inspirasi menjadi salah? Pada saat seorang komposer ditanya dari mana ia mendapatkan inspirasi, seringkali jawabannya adalah dari musisi lain. Bahkan terkadang pengaruh dari musik lain datang menyelinap tanpa disadari. Tentu inspirasi bukanlah sebuah kesalahan. Sayangnya, batas antara inspirasi dan plagiarisme seringkali rancu.

Bagaimana kita mengkritisinya?

Khusus pada edisi kali ini, bawalah dua lagu yang menurut anda mirip. Apakah itu plagiarisme, atau inspirasi, atau apapun istilahnya, akan kita bahas bersama!

> Tentang Edisi Playlist

Edisi Playlist bertujuan untuk melatih apresiasi. Memberi pengetahuan tentang keberbedaan selera yang berkembang di masing-masing persona, dan bagaimana cara menghargainya. Terlebih ketika hari ini musik sudah jarang sekali diperlakukan sebagai "musik an sich". Musik sekarang kita dengar sebagai latar belakang, mulai dari berbelanja di mal, menonton televisi, hingga menyetir di mobil. Mari kita duduk, menghargai musik sebagai musik, didengarkan dalam entitasnya yang sejati.

> Tatacara

Peserta kumpul-kumpul berpartisipasi dengan cara membawa dua lagu (tidak harus klasik loh!) dalam flashdisk untuk diputar dan diapresiasi bersama-sama. Acara ini gratis dan terbuka untuk umum.

Inspirasi vs Plagiarisme

$
0
0
Minggu, 28 Juli 2012

KlabKlassik Edisi Playlist kali itu tidak seperti biasanya yang mewajibkan masing-masing pesertanya membawa satu lagu. Kali ini peserta mesti membawa dua lagu karena ada yang harus dipersandingkan. Topiknya adalah tentang inspirasi vs plagiarisme. Jika ada satu lagu mirip dengan lagu lainnya, kita bisa pertanyakan: Apakah itu inspirasi, ataukah itu plagiasi?

Meski yang hadir tidak terlalu banyak, namun edisi playlist kali ini justru menyuguhkan lagu cukup banyak. Selain karena memang yang dibawa masing-masing orang adalah dua, tapi penyebab utamanya adalah keberadaan Rahardianto yang membawa hingga belasan lagu. Katanya, "Mudah sekali menemukan lagu Indonesia yang mirip dengan lagu asing. Bahkan di youtube pun ramai-ramai mempersandingkan." Berikut adalah beberapa lagu yang kemarin diputar, yang dirasa punya kemiripan:

1. Le Marseilles (Lagu Kebangsaan Prancis) dengan Dari Sabang Sampai Merauke. Kemiripan ini cukup identik, meski yang sangat persis hanyalah dua bar pertamanya. Namun jika dicermati, bar-bar berikutnya dari lagu Dari Sabang Sampai Merauke hanyalah variasi sedikit dari Le Marseilles.

2. Frozen (Madonna) dan Ma Vie Fout Le Camp (Salvatore Acquaviva). Kemiripannya ada di beberapa bar bagian verse. Konon Acquaviva menggugat Madonna dan memenangkannya. Lagu Frozen pun dilarang diputar di Belgia. 

3. Kopi Dangdut (Fahmi Syahab) - Moliendo Cafe (Hugo Blanco). Siapa yang tidak kenal lagu Kopi Dangdut? Hampir semua lapisan masyarakat Indonesia tahu lagu dangdut populer ini. Namun tidak banyak yang tahu bahwa Moliendo Cafe nyaris tidak punya perbedaan dengan Kopi Dangdut.

4. Jangan Sakiti Aku Lagi (Radja) - No More Lonely Night (Paul McCartney). Rahar menyebut persamaan kedua lagu ini sebagai "persamaan pada intinya". Atau sekilas berbeda, tapi intinya sama-sama saja. Dalam arti kata lain, ini masuk kategori "plagiasi yang samar-samar".

5. Mari Bercinta (Aura Kasih) - Give it To You (Sean Paul). Kemiripan ini sangat identik. Hanya karena Aura Kasih memainkannya dengan beat disko dan Sean Paul hip-hop, maka bagi orang awam tidak akan terlalu kentara. Namun melodi lagunya sungguh persis.

6. Pupus (Dewa) - Life is Real (Queen). Ahmad Dhani terlihat sekali terinspirasi Queen dalam banyak lagunya. Rahar juga mengategorikan kemiripan ini sebagai cukup samar dan lebih terasa sebagai inspirasi daripada plagiasi.

7. Mak Comblang (Potret) - Alright (Supergrass). Kemiripan ini tidak terlalu jelas, namun terasa sekali dari ritem dan "semangat"-nya. Bahkan konsep video klip diantara keduanya pun punya kemiripan.

8. Bagaikan Langit (Potret) - Good Life (Weezer). Rahar mencium persamaan ini pada fill-in drum dan juga bagian tengah, semacam bridge dan solo-nya. Melly mengambil style yang luar biasa identik meski terlihat ia mengubahnya sedikit-sedikit.

9. Take em All (Cockspringer) - Iwa Peyek. Iwa Peyek orisinil? Tunggu sampai mendengarkan bagian reffrain lagu Cockspringer tersebut!

Ada cukup banyak lagu yang diputar, belum termasuk yang dihadirkan oleh Diecky -yang dengan niat ia sudah potong-potong lagu tersebut ke dalam satu file-. Namun yang lebih terpenting adalah membahasnya. Kata Diecky, dalam aturan hak cipta sendiri, lagu baru dianggap plagiasi jika menjiplak hingga delapan bar. Kenyataannya, banyak musisi, walaupun mirip, tapi secara cerdik berhasil menghindari aturan hingga delapan bar tersebut (simak Dari Sabang sampai Merauke yang cuma dua bar). "Selebihnya," lanjut Diecky, "Dikembalikan pada harga diri si musisi itu. Jika memang terasa menjiplak walaupun tidak bisa dibuktikan, ia bisa mendapat sanksi dari masyarakat berupa cap plagiator yang tidak resmi."


Tapi apa bedanya kemiripan seperti ini dengan misalnya Marcel Duchamp yang melukis monalisa dan hanya menambahkan kumis? Lanjut Diecky, "Beda, kalau Duchamp ada semacam mocking yang terang-terangan. Persis seperti parodi yang dilakukan oleh Project Pop. Namun musisi-musisi ini, sepertinya sengaja 'terinspirasi' oleh musisi yang kurang terkenal, yang asumsinya tak bisa dilacak oleh masyarakat banyak. Sedangkan 'menjiplak' Monalisa itu kasus lain, siapa yang tak tahu lukisan Monalisa?"  Inilah yang menjadi persoalan: Ketika akses terhadap internet sudah semakin marak, orang sudah bisa melacak lagu-lagu ke seluruh dunia, tidakkah sebaiknya pencipta lagu malah harus semakin mawas diri dalam mencipta? 


KlabKlassik Akan Tanpa Bilawa dan Diecky

$
0
0

Bagi KlabKlassik, Bilawa Ade Respati dan Diecky K. Indrapraja sumbangsihnya tak perlu diragukan lagi. Bilawa aktif sejak acara pertama KlabKlassik yakni Classicares: Classical Concert for Charity tahun 2005. Sedangkan Diecky mulai terlibat sejak Januari 2007 di seminar musik kontemporer  di IFI - Bandung (Dulu bernama CCF) yang di dalamnya menghadirkan pembicara Dieter Mack dan Royke B. Koapaha. 

Keduanya berbeda wilayah ketertarikan. Bilawa terutama, dia adalah seorang performer. Bilawa bermain gitar klasik dan mendalaminya cukup serius hingga mengikuti berbagai resital dan kejuaraan. Dalam ranah pergitaran klasik Bandung, Bilawa dikenal sebagai gitaris yang berteknik tinggi dan senang sekali bermain karya musik yang relatif rumit. Sedangkan Diecky lebih serius menekuni dunia komposisi. Ia bukan tipikal komposer yang realistik pro-pasar, melainkan idealistik dan boleh dibilang beraliran garda depan. Karya-karyanya pernah diikuti di festival musik kontemporer di Yogya hingga festival komposisi se-Asia Tenggara. 

Namun diantara keduanya ada kesamaan. Baik Bilawa maupun Diecky, mereka tipikal orang yang tak pernah terpuaskan dahaga keingintahuannya. Maka itu keduanya amat senang berdiskusi, berbagi maupun menyerap ilmu di komunitas. Hal yang agaknya menjadi landasan kuat mengapa mereka memilih suatu jalan yang meskipun mereka tahu tak akan memenuhi dahaganya, namun setidaknya baik Bilawa maupun Diecky, yang berharga adalah proses pencarian sumber air pengetahuan itu sendiri. 

Ya, terhitung sejak bulan September nanti, Bilawa maupun Diecky tidak akan terlihat lagi dalam keseharian komunitas KlabKlassik. Bilawa memilih untuk bersekolah di Jerman selama tiga tahun. Sedang Diecky, setelah menikah, ia memilih untuk tinggal di Pontianak dan menjadi dosen disana. Keduanya pergi, pasti bukan semata-mata dalam rangka mencari kenyamanan badani semata. Mereka justru berangkat oleh sebab meyakini bahwa hidup adalah tentang mencari dan mencari. Dilarang berpuas di satu permukiman, karena yang demikian bisa berbahaya dan membuat lupa diri.

Apapun itu, mari kita doakan agar baik Bilawa dan Diecky menemukan sesuatu yang berharga di perantauannya. Semoga bisa memberikan sumbangsih tidak cuma bagi musik klasik saja yang sifatnya khusus, tapi bagi kehidupan di dunia ini pada umumnya.

Melepas Afifa Ayu ke Negeri Musashi

$
0
0
Minggu, 2 September 2012

Afifa Ayu (ketiga dari kiri) bersama band Angsa dan Serigala.

Afifa Ayu bukanlah orang baru di KlabKlassik (KK). Ia datang pertama ke KK masih berkumpul di CommonRoom -mengingat kepindahan KK ke Tobucil dari sejak tahun 2007, maka Afifa sudah aktif di KlabKlassik sejak lebih dari lima tahun yang lalu!-. Kehadirannya yang pertama kali itu datang bersama violinis Ammy Kurniawan. Afifa, yang berstatus sebagai murid, kala itu masih duduk di bangku SMP dan memainkan satu karya berjudul Korobushka.

Waktu demi waktu berlalu, Afifa akhirnya memasuki kehidupan kampus. Meski demikian, karirnya sebagai violinis tidak ditinggalkan. Ia malah semakin gemilang seiring dengan keaktifannya di berbagai acara musik. Terakhir ini, Afifa tengah aktif-aktifnya di band yang sedang naik daun, Angsa dan Serigala. Kecemerlangannya di wilayah musik ini ternyata juga sejalan dengan karirnya di bidang akademik. Ia mendapatkan semacam beasiswa untuk penelitian di Tokyo Institute of Technology selama setahun.

Kepergiannya ini "dirayakan" dengan mengadakan farewell party di rumahnya sendiri di daerah Pasteur. Afifa mengundang terutama rekan-rekannya di bidang musik untuk tampil sekaligus silaturahim karena juga berkaitan dengan momen pasca lebaran. Ada 4 Peniti, Angsa dan Serigala, serta Strangers Band menyumbangkan dua tiga lagu untuk memeriahkan acara yang -asyiknya- diselenggarakan di garasi rumah tersebut. Ruangan garasi yang relatif kecil justru menjadikan suasana lebih akrab.

Setelah dibuka dengan penampilan Afifa dan keluarga, yakni adiknya, Ilham, dan sepupunya, Rafdi, berturut-turut Afifa tampil berkolaborasi. Tidak hanya bermain violin, Afifa juga menunjukkan kepiawaiannya dalam menyanyi dan bermain keyboard.  Setelah penampilan apiknya dengan berbagai band, Afifa menutup acara perpisahannya tersebut dengan menampilkan lagu ciptaannya sendiri berjudul Rindu. Didampingi oleh Ilham dan Ammy, lagu yang sendu dan melankolik itu menjadi pamungkas yang tepat karena membuat suasana menjadi cukup mengharukan. Hal tersebut juga ditambah dengan pidato singkat dari Papa Afifa yang berkata, "Terima kasih pada kalian, teman-teman Afifa yang berharga, yang begitu penting artinya pada perkembangan anak saya."

Demikian. Mari kita doakan semoga Afifa bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya di negeri Musashi. Tidak hanya itu, semoga ia juga bisa membawa kembali ilmu tersebut dan membagi-bagikannya untuk memajukan negeri ini.

Alunan Musik The Beatles di Beranda Tobucil

$
0
0
Minggu, 23 September 2012


Lagu If I Fell yang diaransemen oleh Yunus Suhendar

Ririungan Gitar Bandung (RGB) sedang bergairah kembali. Penyebabnya adalah rencana konser yang sudah ditentukan pada bulan Januari 2013. Temanya pun cukup menarik, yaitu semacam konser persembahan untuk band legendaris The Beatles. Saking bersemangatnya, Kang Sutrisna sebagai ketua pun giat mengumpulkan partitur lagu-lagu The Beatles. Setelah sukses menggali data-data lama milik RGB seperti If I Fell dan Drive My Car, ensembel gitar yang didirikan Januari 2009 ini juga mendapat suntikan dua partitur baru yaitu Come Together dan I Saw Her Standing There.

If I Fell sukses diselesaikan pada hari itu. Dengan sisa-sisa tenaga, latihan RGB yang hanya diikuti enam orang tersebut, melanjutkan latihannya dengan lagu Come Together dan I Saw Her Standing There. Lalang, anggota termuda, beberapa kali menyalahkan Kristianus karena melakukan kesalahan. "Ah, sayang banget kita berhenti padahal sedikit lagi selesai," katanya sambil disambut gelak tawa peserta lainnya.
Lalang, anggota RGB termuda
RGB generasi terbaru ini yang mendaftar mencapai sebelas orang. Latihan yang rutin dilakukan setiap hari Minggu pukul dua ini dikenakan biaya Rp. 5000 / bulan saja. Masih terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung, dengan target jangka pendek konser Purwatjaraka pertengahan Oktober dan konser tunggal bulan Januari.


Resital Gitar Klasik Jardika Eka & Syarif Maulana

$
0
0




Sabtu, 6 Oktober 2012
Auditorium IFI - Bandung
Jl. Purnawarman no. 32
Pk. 19.30 - 21.00

Program:

Revoir Paris (Roland Dyens)
Xodo da Baiana (Dilhermando Reis)
Cancion y Danza no. 1 (Antonio Ruiz-Pipo)

Valses Poeticos (Enrique Granados)
Elegio de la Danza (Leo Brouwer)
La Muerte del Angel (Astor Piazzolla)

Six Petit Duos Dialogues #2 (F. Carulli)
Sanzen-in (Andrew York)
Ode untuk Pacar Merah (Bilawa Ade Respati)
Duo Etude (Ammy C. Kurniawan)

Profil Penampil:

Jardika Eka Tirtana lahir di Bandung 9 Februari 1989. Mulai belajar gitar klasik pada tahun 2007 dibawah bimbingan Edy Hartono (STIMB). Th 2009 melanjutkan studi di ISI Yogya sebagai mahasiswa jurusan musik dengan instrumen mayor gitar klasik dibawah bimbingan Rahmat Raharjo, Royke B. Koapaha, dan Ovan Bagus hingga sekarang. Pernah mendapat Master Class dari Miguel Trapaga (Spanyol), Karl Nyhlin (Swedia), Thibault Cauvin (Prancis), Christopher Mallett & Robert Miller (Amerika). Aktif tampil dalam acara konser intern rutin “Parade Gitar” yang diadakan KBM GEMA bekerjasama dengan HIMA Musik ISI Yogyakarta. Mengikuti beberapa konser a.l. Home Concert di Auditorium Musik ISI Yogyakarta pada bulan April 2012 dan konser “Bintang Muda” yang diselenggarakan oleh IFI Yogyakarta pada bulan September 2012. Mendapat Juara 2 pada Surabaya Guitar Festival pada bulan Juni 2012 dan bulan Juli 2012 mendapat Juara 1 pada Balikpapan Student Guitar Competition 2012.

Syarif Maulana (Bandung, 30 November 1985), belajar gitar klasik sejak usia tiga belas tahun pada Kwartato Prawoto. Pada usia delapan belas, Syarif melanjutkan belajar gitar klasik pada Ridwan B. Tjiptahardja. Prestasi yang pernah diraih antara lain Juara III BTC Guitar Competition Kategori Pop (2005), Semifinalis Festival Gitar Nasional Yogyakarta (2006), Juara III Yamaha Student Contest Tingkat Sekolah Musik (2007), dan Juara III Bandung Spanish Guitar Festival Kategori Senior (2007). Syarif juga sempat mengikuti masterclass oleh Iwan Tanzil dan Alessio Nebiolo. Selain aktif di komunitas KlabKlassik sejak 2005 dan mengajar gitar klasik di beberapa tempat, Syarif pernah mengadakan lima kali resital, yaitu Resital Gitar Klasik Syarif Maulana (2006), Konser Gitar Klasik Syarif Maulana & Johan Yudha Brata (2007), Resital Tiga Gitar (2008) dan Resital Tiga Gitar plus Satu (2009) dan Resital Empat Gitar (2012). Syarif juga lulus dari grade 8 ABRSM untuk praktek dan grade 5 ABRSM untuk teori. Pernah menjadi pelatih divisi gitar di STT Tekstil, sekarang Syarif menjadi pelatih divisi gitar di orkestra milik UNPAD bernama Padjadjaran Orchestra.

Acara ini gratis dan terbuka untuk umum!

Mengapa Tidak Semua Kegiatan KlabKlassik berkaitan dengan Musik Klasik?

$
0
0
Meskipun tidak ada yang sungguh-sungguh bertanya tentang hal di atas, namun saya entah kenapa merasa harus menjawabnya. Karena sejak awal tahun 2012, KlabKlassik punya program komunitas baru, yang penjabarannya seperti ini: 

  • Minggu Kedua: Edisi Nonton dengan koordinator Yunus Suhendar. Film yang ditonton memang pernah beberapa kali berkaitan dengan musik klasik seperti From Mao to Mozart dan Amadeus. Namun pernah juga film-film yang tidak ada hubungannya seperti Nosferatu.
  • Minggu Ketiga: Edisi Playlist dengan koordinator Adrian Benn. Ini adalah semacam sesi mendengarkan musik bersama. Peserta membawa lagunya sendiri untuk diapresiasi secara bersama-sama. Lagunya ini dibawa sesuai tema, misalnya: "Blacklist Wedding Song", "Lagu yang ingin Kamu Perdengarkan jika Kamu Mati", "Musik Pengantar Tidur" atau "Inspirasi versus Plagiarisme". Harus musik klasik? Tidak harus!
  • Minggu Keempat: Edisi Bincang-Bincang dengan koordinator Diecky K. Indrapraja. Diskusinya juga tidak melulu tentang musik klasik, bahkan hampir tidak pernah. Edisi ini biasanya mengundang narasumber untuk memperbincangkan musik seperti ska, black metal, blues, hingga psikedelik. 
Lantas, sebelah mana sisi musik klasiknya? Bukankah ini mengkhianati visi dan misi KlabKlassik sendiri? Hal seperti ini pernah berkerut di kening mahasiswa antropologi yang datang untuk meneliti KlabKlassik. Bukan mereka yang bertanya, tapi ketika mahasiswa-mahasiswa tersebut mempresentasikan tentang KlabKlassik di depan kelas, mereka dicecar pertanyaan dari mahasiswa lainnya, "Terus, mana musik klasiknya?" Adrian Benn ketika pertama kali bergabung dengan KlabKlassik pun bertanya-tanya, "Ini bahas apa sih?" tanyanya yang waktu itu sedang membahas musik India oleh Pak Hardianto.

Ini akan saya coba memberi jawaban yang belum tentu memuaskan, dan juga tidak bermaksud sebagai pembelaan diri. Melainkan semacam pertanggungjawaban saja tentang apa yang kami lakukan:

  1. Apa yang dilakukan terkait dengan musik klasik sudah dilakukan lewat konser-konser yang diadakan sekitar dua atau tiga bulan sekali. 
  2. Setiap minggunya, rutin KlabKlassik mengadakan latihan ensembel gitar bernama Ririuangan Gitar Bandung (RGB). Repertoarnya biasanya musik klasik atau minimal dilakukan dengan teknik fingerstyle.
  3. Ada satu kritik dari kami bahwa baik musisi maupun apresiator musik klasik kerap terjebak di menara gading. Misalnya, lagu yang didengar hanya musik klasik, repertoar yang dimainkan hanya musik klasik, sejarah yang dipelajari adalah hanya tentang sejarah musik klasik. Yang demikian tidak bisa dibilang salah jika atas nama profesionalitas musisi. Namun terutama sebagai apresiator, kami menganggap bahwa apresiator yang baik adalah mereka yang bisa mengapresiasi segala jenis musik dan kesenian. Karena kami berasumsi, bahwa tidak ada musik yang baik dan buruk, yang ada hanyalah bagaimana apresiator menempatkan sesuatu dalam konteksnya. Misalnya, membandingkan musik reggae dengan musik mozart tentu saja tidak kontekstual secara timeline sejarah. Namun melihat pengaruh reggae dalam masyarakat Jamaika tentu saja akan membuat kita lebih bijaksana dalam mengapresiasi.
  4. Mereka yang terbiasa mengapresiasi musik klasik, akan mempunyai pisau bedah analisis yang lebih lengkap untuk melihat musik-musik lainnya. Orang yang terbiasa mengapresiasi musik klasik (terutama yang akademisi) akan lebih bisa merasakan melodi, kadens, instrumentasi, harmoni, progresi, tema, dan lain sebagainya (meskipun hal ini tidak mutlak, karena ada apresiator musik klasik yang tak pandai dalam hal semacam ini, ada juga orang non-musik klasik yang peka terhadap analisis). Atas dasar itu, diharapkan pembahasan tentang musik dan kesenian lainnya akan lebih lengkap. Misalnya, membahas film tapi kita bisa dengan jeli mengamati musik latarnya, ditinjau dari instrumentasi dan ketegangan yang dibangunnya.
  5. Dengan membahas musik-musik dari non-klasik, akan hadir juga penikmat-penikmat yang lebih umum. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh beberapa orang dari komunitas musik black metal yang hadir ke KlabKlassik. Katanya, "Di kalangan kami sendiri, jarang sekali diskusi seperti ini. Anehnya, diskusi black metal malah dihadirkan di komunitas musik klasik."
Demikian. Diharapkan, dengan program rutin KlabKlassik yang membedah berbagai jenis musik dan seni lainnya, para apresiator menjadi lebih bijak dan arif, bahkan ketika mereka kembali mengapresiasi musik klasik itu sendiri. Selain itu, citra eksklusivitas musik klasik yang kerapkali mengurung diri di menara gading juga bisa diusir jauh-jauh. Harusnya, musik klasik, sebagaimana seni secara umum, bertujuan -kembali lagi- untuk membuat manusia menjadi lebih manusiawi.

KlabKlassik Edisi Nonton: Malena (2000) "Jika Anda Cantik, Bersiaplah untuk Diintip"

$
0
0





Minggu, 14 Oktober 2012
Pukul 15.00 s/d selesai
Tobucil & Klabs, Jl. Aceh No. 56
Gratis dan terbuka untuk umum


Mengambil setting tahun 1940-an era perang dunia kedua, Castelcutto ialah sebuah kota kecil di Italia yang panoramanya dikelilingi oleh pantai nan eksotik. Diceritakan seorang janda muda cantik bernama Malena Scordia (Monica Belucci) lama ditinggal suaminya pergi berperang ke Afrika untuk rezim pemerintahan Benito Musollini. Bertahun-tahun tidak kembali, semua orang mengira sang suami, Nino Scordia (Gaetano Aronica) meninggal di peperangan. Malena secara fisik ialah wanita dewasa yang rupawan sehingga dipuja oleh oleh setiap pria tua maupun muda di Castelcutto, keindahan Malena menyihir seorang bocah labil berumur 13 tahun bernama Renato Amoroso (Giuseppe Sulfaro) yang diam-diam memperhatikan dan memendam hasrat. Dia sangat terobsesi oleh Malena secara sembunyi ia selalu mengikuti kemanapun malena pergi setiap harinya bahkan ia sengaja mengintip ke dalam rumah Malena memperhatikan bagaimana janda cantik ini menjalani kehidupannya seorang diri.

Plot film ini pada dasarnya dibangun atas narasi Renato yang melihat Malena sebagai wanita dewasa dari kacamata bocah berumur tiga belas tahun. Dengan polosnya, ia melihat bagaimana orang-orang dewasa disekitarnya hidup penuh intrik dan kemunafikan. Peran Renato di film ini memberikan gambaran psikologis tentang fase kedewasaan anak manusia yang prosesnya sangat rumit. Banyak sekali hal tabu dalam kehidupan yang sengaja ditampilkan apa adanya, membuat Malena sangat renyah untuk ditonton. Film ini diadaptasi dari cerita yang dibuat Luciano Vincenzoni dan disutradarai oleh Giuseppe Tornatore yang pernah memenangkan Oscar lewat film Cinema Paradiso. Music-scoring yang indah sepanjang film berdurasi 94 menit ini digarap oleh Ennio Morricone.


Dari Beranda Mengintip Malena

$
0
0
Minggu, 14 Oktober 2012



Setelah bulan September tidak ada kegiatan sama sekali, KlabKlassik memulai lagi kumpul-kumpulnya bulan ini. Kekosongan di bulan September disebabkan oleh kepergian tiga punggawa KlabKlassik, yang salah satunya adalah yang paling aktif dalam mengkoordinasi kegiatan mingguan, yaitu Diecky K. Indrapraja. Setelah beristirahat sejenak, KlabKlassik memulai aktivitasnya dengan Edisi Nonton. Mas Yunus Suhendar sebagai koordinator membawakan film yang cukup segar: Malena (2000).

Mas Yunus memilih film ini karena selain cukup ringan secara alur cerita, music scoring-nya digarap oleh komposer kenamaan Ennio Morricone. “Ada beberapa karya opera yang ditampilkan dalam film ini,” kata Mas Yunus merujuk pada karya Morricone, komposer yang karyanya cukup terkenal di beberapa film seperti Fistful of Dollars, For a Few Dollars More; The Good, The Bad and The Ugly; The Mission, dan The Untouchables. “Ini adalah film yang Italia banget. Sutradaranya, pemainnya, penata musik, hingga bahasanya adalah Italia,” tambah Mas Yunus beberapa saat sebelum film mulai diputar.

Film Malena yang disutradarai oleh Giuseppe Tornatore ini berpusat pada seorang anak bernama Renato (diperankan oleh Giuseppe Sulfaro) yang sedemikian terobsesi pada seorang wanita cantik di kotanya, Castelcuto. Wanita bernama Malena Scordia (Monica Bellucci) tersebut tidak hanya menjadi idaman si anak, melainkan hampir seluruh pria di Castelcuto. Malena, meski jadi incaran, namun ia tampak setia pada suaminya, seorang serdadu bernama Nino Scordia. Setelah sang suami dikabarkan tewas di medan perang, perhatian seisi kota semakin menjadi-jadi pada Malena. Pun Renato, ia menjadi tambah terobsesi. Ia rajin mengintip Malena di rumahnya, pernah mencuri celana dalamnya, dan membayangkannya hampir di setiap waktu. Meski membuat penonton tertawa-tawa dalam enam puluh menit pertama, namun film ini menjadi tragis menjelang akhir. Terutama oleh pupusnya obsesi anak karena suami Malena, Nino Scordia, ternyata tidak gugur di medan perang.

Selesai menonton film berdurasi 94 menit tersebut, terjadi diskusi kecil. “Penampilan si anak, Renato, begitu fantastis. Menunjukkan gelora yang. belum bisa membedakan mana yang hasrat dan mana yang cinta. Tapi tampak begitu alamiah."ujar Tubagus. Rendy kemudian membandingan dengan film Malena versi yang lain, “Di versi ini, banyak adegan yang disensor karena sedikit porno. Namun adegan yang disensor tersebut, bagi saya, justru penting, Karena harus dieksploitasi bagaimana kegalauan si anak, Renato, yang belum bisa menyeimbangkan antara nafsu dan logikanya.” Mas Yunus kemudian mengomentari musiknya yang digarap Morricone, "Lagu utamanya, yaitu Ma L'Amore No sangat kuat dan menopang film secara keseluruhan. Suara klarinetnya sangat khas."

Pembahasan menjadi masuk sedikit tentang voyeurism. Bagaimanapun, aktivitas Renato terhadap Malena bisa dikategorikan sebagai mengintip. Renato mengendap-endap dan melihat Malena di rumahnya lewat lubang kecil, untuk kemudian berfantasi seorang diri di kamarnya. Namun mengintip sendiri bukanlah semata-mata melihat dari lubang kecil. Orang yang menyaksikan televisi punya esensi sama dengan mengintip: Melihat seseorang, menikmati membayangkan kehidupannya, tapi tanpa perlu khawatir orang yang dilihat kemudian balas melihat balik. Apakah hal tersebut hanya terjadi di usia labil seperti Renato? "Tidak," jawab Mas Yunus, "Kawan-kawan saya yang sudah menikah, berfantasi lebih gila daripada remaja." Rudy melanjutkan, "Voyeurism bukan penyimpangan. Ia dimiliki semua pria. Bahkan norma kesusilaan tidak sanggup mengadili hal-hal semacam ini," tutup Rudy.   

KlabKlassik Edisi Bincang-Bincang: Bertualang Bersama Tarkus

$
0
0
Minggu, 21 Oktober 2012
Pk.15.00 - 17.00
Tobucil, Jl. Aceh no. 56, Bandung
Gratis dan terbuka untuk umum



Tarkus adalah makhluk yang muncul dari letusan gunung berapi. Ia melawan sejumlah musuh berat sebelum bertemu dengan lawannya yang paling pamungkas: Manticore. Sayangnya, melawan yang terakhir ini, Tarkus takluk. Meski takluk, kekalahannya menimbulkan versi lain dari Tarkus, yaitu Aquatarkus: Tarkus yang muncul dari air.

Cerita di atas -meski absurd- digambarkan dengan brilian dalam musik gubahan band progressive rock Emerson, Lake & Palmer berjudul Tarkus. Lagu Tarkus dibagi dalam tujuh bagian yang totalnya berdurasi 20 menit 35 detik. Bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Eruption ; 0:00 - 2:43
2. Stones of Years ; 2:44 - 6:28
3. Iconoclast ; 6:29 - 7;44 
4. Mass ; 7:45 - 10:56
5. Manticore ; 10:57 - 12:49
6. Battlefield ; 12:50 - 16:41
7. Aquatarkus ; 16:42 - 20:41


Meski terdengar jenaka, namun ada versi yang mengatakan bahwa Tarkus adalah metafor dari komunisme. Komunisme berhadapan dengan kapitalisme yang diwakili Manticore. Meski komunisme kalah, namun idenya tetap bergema dalam bentuk Tarkus yang baru yaitu Aquatarkus. Karya yang ditulis tahun 1971 itu dimainkan oleh formasi trio yang terdiri dari Keith Emerson (keyboard), Greg Lake (bas) dan Carl Palmer (drum). Tidak bisa dipungkiri, lagu ini adalah salah satu yang paling fenomenal, rumit, tapi juga sukses dalam sejarah rock. 

Mari mengapresiasi dan memperbincangkan, agar kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang selamat telinganya!

Kisah petualangan Tarkus dalam gambar.


Mengapa tidak semua kegiatan KlabKlassik membahas musik klasik? Ini dia pertanggungjawabannya.

Tarkus dan Pemberontakan Kaum Proletar

$
0
0
Minggu, 21 Oktober 2012


KlabKlassik tengah mencoba inovasi baru. Yang menjadi perbincangan kali ini adalah per karya setelah sebelumnya biasanya pembahasan menyangkut satu tema besar seperti genre musik tertentu. Tarkus karya Emerson, Lake and Palmer (ELP) tahun 1971 -sebuah karya berdurasi dua puluh menit- diperdengarkan hingga tuntas sebelum dibicarakan bersama-sama.

Karya tersebut dihadirkan tanpa jeda. Semua terdiam selama dua puluh menit, menyimak Tarkus yang dibagi tujuh bagian berjudul Eruption, Stones of Years, Iconoclast, Mass,Manticore, Battlefield, dan Aquatarkus. Hanya bermodalkan tiga pemain, band beraliran symphonic progressive rock tersebut menghentak dengan musik yang kompleks dan mengguncang. Sesekali disisipkan juga irama yang lebih lembut agar apresiator bisa menghela napas sebentar, sebelum dipaksa menahan kembali di menit-menit berikutnya. Musik berhenti di dua puluh menit tiga puluh lima detik, menimbulkan tepuk tangan meriah di beranda Tobucil.

"Bosen, ngantuk," begitu tanggapan Kristianus, meski ia juga mengakui kualitas musiknya yang njelimet. Hal yang sama juga diamini oleh Dody dan Mas Dudi yang mengaku memang sedikit jenuh karena durasinya yang panjang. Namun kompleksitas musiknya membuat para peserta diskusi yang hari itu berjumlah delapan tetap bertahan dalam tempat duduknya. "Membuatku ingat animasi yang biasa diproduksi oleh Marvel," ujar Permata yang hari itu hadir mendampingi Iqbal. "Padahal pada masa itu, orang mudah sekali mengapresiasi musik sepanjang dua puluh menit. Sekarang, rasanya lima menit pun sudah kehilangan konsentrasi. Apa karena industri?" tanya Rendy yang dijawab anggukan Kristianus.

Diskusi menjadi menghangat ketika Mas Ismail Reza ikut. Mas Reza langsung mengeluarkan isi pikirannya tentang Tarkus, "Ada orang-orang yang menginterpretasikan Tarkus sebagai representasi ideologi komunis. Hal tersebut wajar karena masa itu komunis sedang hangat-hangatnya, menunjukkan kebesarannya yang mewujud dalam negara semacam Uni Soviet dan RRC." Mengapa ada kekaguman pada komunisme? Bukankah ELP adalah representasi anak muda AS yang notabene waktu itu sedang gencar-gencarnya berperang dingin melawan Uni Soviet? "Iya, justru ini semacam pemberontakan. ELP berasal dari kaum hippies yang tidak setuju terhadap Perang VIetnam. Komunisme menjadi semangat yang diambil untuk menunjukkan masyarakat bawah, jika bersatu, akan mampu menggulung diri seperti Tarkus yang berwujud armadillo alias trenggiling."

Mas Reza tidak berhenti sampai di situ. Ia menambahkan simbolisasi Manticore yang disebut dalam movement kelima dalam Tarkus. "Manticore adalah binatang dalam mitos yang jika ia hadir, bisa membusuki lingkungan sekitarnya. Ini bisa jadi merupakan representasi ideologi kapitalis." Lebih lanjut, Mas Reza mengomentari bagian terakhir dari Tarkus berjudul Aquatarkus. Katanya, "Dalam pertarungannya dengan Manticore, Tarkus mengalami kekalahan. Ia pergi ke air dan melahirkan anak-anaknya. Disitulah representasi komunisme kembali ditunjukkan: Meski kalah melawan kapitalisme, namun idenya selalu menggaung."

Pembahasan menjadi masuk ke band ELP itu sendiri. Pada masa itu, lanjut Mas Reza, ada semacam upaya agar musik rock sejajar dengan musik klasik. "Keith Emerson, sang kibordis, kerap membawa wine ketika bermain. Ia ingin menunjukkan bahwa rock juga bisa bergaya aristokrat." Tidak hanya dari gaya, dalam hal bermusik pun, ada semangat untuk memperlihatkan bahwa rock bisa sedemikan kompleks dan dinikmati secara serius. "Keith Emerson tidak hanya berkemampuan tinggi, ia juga pandai bereksperimen. Contohnya adalah penggunaan moog modular synthesizer yang ia gunakan dalam banyak lagu-lagu ELP," lanjut Mas Reza. Alat tersebut adalah yang memungkinkan Emerson menghasilkan bebunyian yang luar biasa aneh pada masanya. "Segala yang berbau elektronis, pada masa itu, sangatlah menghebohkan. Emerson adalah salah satu pelopornya," tambah Mas Reza.

Setelah pemaparan panjang lebar yang bergizi, Mas Reza menambahkan beberapa suplemen musik agar peserta semakin memahami apa itu progressive rock. Mas Reza memutar Mahavishnu Orchestra dan King Crimson beberapa lagu. Pertanyaan semisal, "Apa ciri-ciri progressive rock?" tidak akan serta merta dijawab oleh Mas Reza sebagai rock yang punya ciri-ciri musik kompleks. Pertama-tama ia akan mengatakan bahwa, "Dengerin aja dulu sebanyak-banyaknya, maka kita akan tahu ciri-ciri progressive rock itu sendiri." Tapi jika terpaksa harus mengungkapkan dengan kata-kata, ia akan menjawab, "Pokoknya jika ada lagu cinta tapi alih-alih terdengar galau, tapi malah terdengar suram, maka kita bisa curigai itu progressive rock." Demikian pernyataan tersebut yang langsung disambut tawa para peserta.

Rendi (kiri) dan Mas Reza (kanan)

Tersedia Dokumentasi Lengkap Classical Guitar Fiesta 2012

$
0
0

Sebelumnya kami mohon maaf karena dokumentasi dari acara yang sudah berlangsung lebih dari tiga bulan yang lalu ini baru bisa disediakan sekarang oleh sebab beberapa kendala.

Classical Guitar Fiesta adalah acara dwitahunan yang diselenggarakan oleh KlabKlassik. Isinya adalah penampilan gitar yang mana para pengisi acaranya dibuka untuk umum dan siapa saja yang mau mendaftar. Dalam setiap pagelarannya, CGF selalu menampilkan bintang tamu gitaris yang sudah malang melintang baik dalam skala nasional maupun internasional. Tahun 2006, bintang tamu yang hadir adalah Royke B. Koapaha; tahun 2008 ada Jubing Kristianto; tahun 2010 adalah Phoa Tjun Jit dan tahun 2012 kembali menghadirkan Jubing Kristianto.

Momen CGF 2012 diabadikan dalam bentuk dua keping DVD dengan durasi total hampir tiga jam dan termasuk di dalamnya penampilan live dari gitaris fenomenal Jubing Kristianto. DVD ini dapat diperoleh dengan memesan melalui Kristianus (0857-205-26364) dengan harga Rp. 50.000. Pemesanan di wilayah Bandung dapat diantar gratis, sedangkan di luar kota Bandung akan dikenakan biaya ongkos kirim. Harga yang dikenakan ini, selain untuk mengganti ongkos produksi, juga untuk mendanai kegiatan komunitas KlabKlassik yang independen dan non-profit.

Sebagai keterangan tambahan, DVD ini sengaja dibuat dalam format yang hanya bisa dibaca di komputer untuk memudahkan memunggah ke Youtube. Meski demikian, DVD player tertentu bisa juga membaca format semacam ini.

Resital Oboe "A Debut Recital" oleh Afdhal Zikri

$
0
0

Rabu, 31 Oktober 2012
Auditorium IFI - Bandung
Jl. Purnawarman no. 32, Bandung
Pk. 19.30 - 21.00
HTM: Rp.24.900

Informasi tiket (dijual mulai selasa, 23 Oktober):

Tobucil, Jl. Aceh no. 56 (022-426-1548)
Syarif (0817-212-404)

Susunan acara:


- Sonata in d mayor , bagian I dan 2 : “Camille saint saens”
- Kita Kan Naik Kereta yang sama : “Gardika Gigih Pradipta”
- (Trio Oboe violin dan Piano). Feat denish dan eya grimonia
- Concerto for oboe and violin in D minor,bagian 1 “Johan Sebastian Bach” (feat Eya grimonia)

Profil penampil:

AFDHAL ZIKRI ZZ, Oboe
Pertama belajar musik kelas 3 Sd dimulai dengan Instrument gitar kepada Alm. Suhapri (paman), dan setelah lulus Smp melanjutkan pendidikan musiknya ke SMM Jogjakarta. Pertama belajar oboe tahun 2004 dengan bimbingan Drs Sritanto dan melanjutkan pendidikan nya ke ISI Jogjakarta pada tahun 2007, dan menyelesaikan studi disana pada tahun 2012.
Pernah mengikuti SAYOWE (Southeast Asian Youth orchestra and wind ensemble), di Thailand pada tahun 2008, dan menjadi salah satu solis dalam Konsert F hole string ensemble pada tahun 2010 , Pengalaman lain berkesempatan menjadi talent salah seorang “Pemusik Soewito” pada film “SOEGIJA” dengan arahan sutradara Garin nugroho dengan peñata musik Djadug ferianto ,yang dirilis juli kemaren. Dan pernah mengikuti beberapa master class oboe yaitu Dengan Shigeki Sasaki ,2008 di Thailand, Joost flach, 2010 dan 2012 di Malaysia, Amy power di Yogyakarta 2011 dan Niels Hartmann 2012, di Malaysia.

ANDIKA DYANISWARA
Mulai belajar musik pada saat usia 6 tahun dengan belajar keyboard. Pada usia 9 tahun mulai belajar electone dan pada usia 13 tahun mulai belajar piano di bawah bimbingan Tabita Indri Nugroho di Salatiga. Pada tahun 2007 melanjutkan studi di Sekolah Menengah Musik Yogyakarta dengan instrumen mayor Piano, di bawah bimbingan Utari Isfandini. Lalu tahun 2010 melanjutkan ke ISI Yogyakarta, instrument mayor Piano klasik di bawah bimbingan L. Agus Wahyudi M.
Pengalaman :
1. Pianis Orkestra Gita Bahana Nusantara ( 2009 & 2010 )
2. Pianis acara “The Spirit of Love” bersama J-Fantasy Orchestra ( 2009 )
3. Pianis Novell Orchestra ( 2010 – sekarang )
4. Performer 3rd International Chamber Music Festival di Yogyakarta ( 2012 )
5. Peserta Yogyakarta International Music Festival Academy ( 2012 )
6. Pianis pagelaran musik karya Gatot Danar S. “Nawangsari” ( 2012 )
Masterclass dan Workshop
1. Iswargia R. Sudarno ( 2010 )
2. Angela Lopez – Spanyol ( 2010 )
3. Cicilia Yudha – USA ( 2011 )
4. Maestra Ivon Maria ( 2011 )
5. Nadya Janitra ( 2011 )
6. Pujiwati Insia M. Effendi ( 2012 )
7. Ananda Sukarlan ( 2012 )
8. Wibi Soerjadi – Netherland ( 2012 )
9. Aryo Wicaksono – USA ( 2012 )
10. Spencer Myer – USA ( 2012 )

EYA GRIMONIA
Eya mulai belajar piano dan vokal umur 4 (empat) tahun, setahun kemudian ia tertarik dengan biola. Tahun 2004, Eya lulus ujian ABRSM/Royal piano dan biola grade 8 dengan nilai tertinggi. Pendidikan dan lingkungan musik klasiknya selalu Eya pertahankan dari pengajar-pengajarnya diantaranya dari Iswargia R Sudarno (piano) dan Dr. Tomislav Dimov (biola). Selain aktif melakukan resital/konser tunggal iapun aktif mengikuti masterclass dari Prof. Ikuyo Nakamura (Japan), Prof. Sherban Lupu dan Prof. Semion Yerosevich (USA).

Eya Grimonia adalah musisi remaja yang dimiliki Indonesia. Eya mengawali karirnya saat usia 6 (enam) tahun dengan berduet dengan Sherina. Sebagai solois dara manis kelahiran Bandung April 1995 ini terus tampil baik off-air maupun on-air di televisi-televisi nasional. Namun Eya juga sering berkolaborasi dan duet dengan artis/musisi Indonesia lainnya. Sebut saja Vina Panduwinata, Ruth Sahanaya, Bunga Citra Lestari, Elfa’s Singer, Padi, Dwiki Darmawan, Karimata Band dan masih banyak yang lain. Yang mengesankan baginya saat Eya berduet dengan Idris Sardi di Istana Negara tahun 2003. Juga saat Eya tampil pada “Carnival of the Animals” diiringi Jakarta Chamber Orchestra pimpinan Avip Priatna. Tak heran kemampuan dan wawasan bermusiknya dapat berimbang di Klasik dan Kontemporer. Selain bermusik dewasa ini Eya diundang sebagai pembicara dalam program TEDx Bandung dan Future Leader Summit di Undip Semarang.

Musik Sore dan Diskusi bersama Ammy Alternative Strings: Bagaimana Mengapresiasi Musik secara Live?

$
0
0


Minggu, 28 Oktober 2012
Pk. 15.00 - 17.00
Tobucil, Jl. Aceh no. 56
Gratis dan Terbuka untuk Umum

Penampilan musik secara live tentu saja bukan hal yang aneh di sekitar kita. Kita bisa menemukannya di pinggir jalan, restoran, café, mal, hingga stadion sepakbola. Seiring dengan kecanggihan teknologi, penampilan live tersebut sering terlalu disayangkan untuk hanya disaksikan. Rata-rata orang dengan gadget canggihnya mengabadikan momen langka tersebut agar bisa dikonsumsi kembali di kemudian hari. Namun mari kita pertanyakan ulang: Jika momen live ditujukan agar para apresiator bisa merasakan musik dengan segenap indranya -hal yang tidak bisa maksimal jika disaksikan lewat layar kaca-, maka tidakkah aneh momen tersebut dikembalikan ke "layar kaca" lewat gadget? Dalam arti kata lain, tidakkah aneh ketika jarak antara musisi dan apresiator sudah begitu dekat, kita jauhkan kembali?

Hal ini akan kita perbincangkan bersama-sama dengan Kang Ammy Kurniawan dan kelompok Alternative Strings-nya. Bukan hanya lewat diskusi kata-kata, melainkan juga diskusi bunyi dan rasa.


RGB Manggung Lagi

$
0
0
Minggu, 28 Januari 2012

Ririungan Gitar Bandung (RGB) terakhir tampil adalah di acara Classical Guitar Fiesta 2012 Juli lalu. Penampilan kali ini tidak seperti sebelumnya yang mengambil tempat di gedung konser. RGB mendapat kesempatan tampil di acara Car Free Day (CFD) Buah Batu. Artinya, RGB tampil di aspal jalan, di tengah kerumunan.

Jam kumpul yang cukup pagi, yakni jam delapan, membuat Rendy Lahope, pemain RGB senior, urung hadir. Yang kemudian tampil sebagai pembuka rata-rata adalah RGB seusia SMP. Lagu pertama adalah Come Together dari The Beatles dengan formasi Trisna, Angga, Lalang, dan Alka. Setelah sukses menyelesaikan lagu pertama, berikutnya RGB memainkan lagu karya Mozart berjudul Romance.. Penampilan RGB kemarin adalah bentuk kerjasama dengan Sekolah Musik Purwatjaraka dan Radio MGT. Sebagian pemain RGB memang les di Purwatjaraka di bawah bimbingan Kang Sutrisna. 


Viewing all 90 articles
Browse latest View live