Quantcast
Channel: KlabKlassik Bandung
Viewing all 90 articles
Browse latest View live

Kampanye Musik Tanpa Jarak

$
0
0
Minggu, 29 Oktober 2012



Sore itu hujan teramat deras. Beranda Tobucil yang bersiap diwarnai suara gesekan biola Ammy Kurniawan, menjadi tertunda untuk beberapa saat.


Kang Ammy adalah pemain biola band 4 Peniti yang juga aktif sebagai pengajar di jalan Progo nomor 15. Ini bukan pertama kalinya ia menghangatkan Tobucil. Selain memberikan workshop seperti kemarin ini, Kang Ammy juga pernah tampil di Crafty Days bersama sejumlah anak didiknya. Pertemuan yang menjadi bagian dari agenda KlabKlassik kali ini, Kang Ammy juga mengusung tema: Tentang bagaimana mengapresiasi musik secara live. Yang hadir cukup banyak, sekitar lima belas orang. Hal tersebut terhitung lumayan karena hujan berlangsung deras sekali.

Kang Ammy memulainya dengan pembukaan sedikit. "Saya pernah berusaha merekam permainan seorang pemain biola dengan handycam. Namun karena terlalu terpesona, saya menjadi tidak peduli akan niat saya untuk merekam," ujar Ammy. Ia justru heran, hari ini orang-orang yang menonton konser musik begitu giat merekam, padahal tujuan musik live, kata Kang Ammy, "Agar kita bisa menghayati langsung musik dengan seluruh indra kita. Karena hal tersebut tidak bisa dinikmati sepenuhnya ketika di layar kaca ataupun radio. Tapi mengapa kita seringkali memberi jarak lagi dengan cara merekamnya? Apa karena gadget yang canggih?"

Selain penekanan pada apresiasi, kang Ammy juga menekankan pentingnya para musisi untuk berimprovisasi pada saat live. "Improvisasi ini tidak hanya dalam bentuk musik itu sendiri, tapi juga dalam bentuk performa," ujar Kang ammy yang mengingatkan bahwa ia pernah mengangkat telepon ketika di atas panggung dan berkata, "Saya sedang main!" Intinya, bermain musik, bagi Kang Ammy, berarti menghibur dengan berbagi. Lebih jauh lagi ia merenungkan, bahwa sangat bagus kalau berbagi itu tanpa jarak, "Ya seperti sekarang ini," katanya sambil menunjuk suasana di beranda Tobucil yang tidak ada panggung dan relatif egaliter. Kang Ammy ingin agar konser-konser berikutnya ia selenggarakan dari garasi ke garasi.

Kang Ammy tidak langsung bermain biola, ia terlebih dahulu memainkan gitar demi mengiringi orang-orang yang hadir. Shandieka mendapat gilirannya dengan memainkan All My Loving karya The Beatles. Kang Ammy memuji Shandieka karena keberaniannya untuk berimprovisasi di tengah-tengah lagu. Untuk menularkan keberanian ini ke peserta lainnya, Kang Ammy menyuruh para pemain untuk berimprovisasi satu per satu hanya dengan lima nada. Kang Ammy kemudian mengiringinya dengan progresi blues.





Suasana makin menghangat ketika Kang Ammy mulai beraksi dengan biolanya. Ia tidak hanya bermain akustik, melainkan menggunakan sejumlah efek. Efek ini, katanya, "Karena saya selalu sendirian kalau main, jadi saya menggunakan efek ini untuk mengiringi diri sendiri." Kang Ammy pun kemudian mendemonstrasikan permainan yang memukau, sangat orkestratif, meskipun sendirian. Kata Kang Ammy, "Nyesel kalau tidak mencoba alat ini, saya tidak akan mengajarkannya di saat les," Atas "ancaman" tersebut, satu per satu peserta yang tadinya pemalu pun mencoba satu per satu. Para peserta menjadi sadar akan satu hal: Bahwa hanya dalam kondisi musik tanpa jarak seperti ini, interaksi dan dialog intens terjadi.




Resital Kecil Afdhal Zikri

$
0
0
Rabu, 31 Oktober 2012

Tepat di hari terakhir bulan Oktober, publik Bandung kembali mendapatkan suguhan konser musik klasik. Kali ini pemain utamanya adalah peniup oboe asal Yogyakarta bernama Afdhal Zikri. Lulusan kampus ISI tersebut memainkan empat karya ditambah dua encore.

Sebelum memulai lagu pertama, pemain oboe yang agak pemalu tersebut memperkenalkan penampilannya sebagai "resital kecil". Sedari awal, Afdhal dan seorang pianis pengiring bernama Andika Dyaniswara, sudah mengajak bintang tamu bernama Eya Grimonia, pemain biola asal Bandung. Memainkan karya barok dari J.S. Bach berjudul Concerto for Oboe and Violin in D minor, antara oboe dan biola bergerak dinamis seolah berkejaran. Pasca penampilan mereka bertiga, setelah itu Afdhal mempersilakan pianisnya yang dipanggil Denis, untuk bermain solo. Katanya, "Agar ia tidak hanya tampil sebagai pengiring, melainkan juga diberi kesempatan untuk unjuk gigi."Setelah Denis bermain solo, Afdhal kembali naik panggung untuk berduet. Kali ini karya yang dimainkannya adalahLe Lever de Lune karya Camille Saint-Saëns.

Sayang sekali rupanya Afdhal tidak mempertimbangkan waktu yang terlalu singkat, sehingga break yang dilakukan pasca Le Lever de Lune  terbilang janggal karena penampilan sesi pertama baru berlangsung sekitar lima belas menit. Sepuluh menit kemudian, setelah sesi istirahat selesai, terdapat insiden kecil: Ada gangguan pada oboe milik si pemain! Gangguan ini nyaris membatalkan konser karena oboe tersebut tidak bisa dipakai kembali. Beruntung ada salah satu penonton yang membawa instrumen oboe, sehingga Afdhal bisa melanjutkan sesi kedua dengan lagu Sonata in D Major karya Camille Saint-Saëns dan sebuah karya dari komposer asal Yogya, Gardika Gigih Pradipta, berjudul Kita Kan Naik Kereta yang Sama.

Meski resitalnya terbilang singkat, namun penampilan Afdhal sendiri cukup memikat sehingga penonton meminta encore. Lagu yang dipilih untuk encore ini terbilang menarik. Pertama, Afdhal memainkan satu karya cukup terkenal dari film The Mission (1976) berjudul Gabriel's Oboe. Karya garapan Ennio Morricone ini, meski pendek, namun lantunannya amat membius. Penonton rupanya tidak merasa cukup hanya dengan satu encore. Tepuk tangan panjang membuat Afdhal terpaksa memainkan lagu Cinta Satu Malam yang ternyata menjadi penutup yang hangat untuk malam yang dingin.


Kursi Panas KlabKlassik

$
0
0
Minggu, 11 November 2012

KlabKlassik mempunyai program baru tapi lama, namanya 'kursi panas'. Apa gerangan? Satu per satu pemain tampil, menunjukkan satu dua karya untuk diapresiasi bersama.Meski baru diadakan kembali, sesungguhnya kegiatan ini justru yang paling purba. Awal mula KK berkumpul, acara inilah satu-satunya andalan untuk memikat pengunjung.  

Yang hadir untuk tampil tidak banyak, hanya berempat. Ada Rendy, Tubagus, Mas Dudi dan Syarif. Namun penampilan yang sedikit itu menjadi cukup berbobot oleh sebab kehadiran mahasiswi psikologi bernama Irsa yang tengah dalam penelitian. Ia sedang meneliti apa yang disebut dengan flow dalam bermusik, yaitu suatu kondisi yang berada di ambang sadar dan tidak sadar, yang amat mungkin dialami musisi ketika ia sedang peak performance.

Sebelum satu per satu peserta tampil, semuanya larut dalam diskusi bersama Irsa. Diskusi tersebut ada di seputar definisi peak performance sendiri. "Sangat relatif," menurut Beben, "Saya termasuk orang yang latihan menjadi semangat ketika ada penonton," Ada juga, kata Rendy, "Orang yang melamai peak performance justru ketika sendiri. Ketika tampil eh malah kacau." Mengukur peak performance dalam musik terbilang sulit. Barometer yang digunakan oleh Irsa pun tadinya lebih banyak diaplikasikan dalam dunia olahraga. "Di dunia olahraga," kata Irsa, "lebih mudah untuk mengukur peak performance." Ini belum ditambah faktor-faktor lain seperti jenis musik, penonton, tingkat kemahiran, ataupun situasi bermain. Tidak satupun bisa menunjukkan kemutlakkan dalam menentukan peak performance dalam musik.



Akhirnya, ketimbang berlarut-larut, Irsa diminta untuk melakukan penilaian terhadap performa mereka-mereka yang akan tampil di "kursi panas". Satu per satu bergiliran mereka "naik panggung" memainkan mulai dari Etude karya Francisco Tarrega, Revoir Paris karya Charles Trenet yang diaransemen ulang oleh Roland Dyens, Etude no. 20 karya Leo Brouwer dan Danza Caracteristica juga karya Leo Brouwer. Keempat penampilan tersebut malah membuat Irsa semakin bingun, terutama oleh kehadiran Jazzy yang dengan enteng berkata, "Peak performance? Ya ketika lagu selesai. Itu artinya tugas selesai." Kalimat yang dicetuskannya membuat seisi beranda berderai tawa.

KlabKlassik Edisi Nonton: Menyimak Musik Latar dari Film The Social Network (2010)

$
0
0


Minggu, 18 November 2012
pk. 15.00 - 18.00
Tobucil n Klabs, Jl. Aceh no. 56
Gratis dan terbuka untuk umum

Diangkat dari buku The Accidental Billionaires karya Ben Mezrich, sutradara David Fincher (Fight Club, Se7en)  dengan penulis skenario Aaron Sorkin (The West Wing) bekerja sama untuk mengeksplorasi makna sukses di awal abad ke-21 dari perspektif para inovator teknologi yang merevolusi cara berkomunikasi jutaan orang di seluruh dunia. Di tahun 2003, internet yang sebelumnya teknologi mahal menjadi terjangkau oleh massa. Internet membuat mudah untuk tetap saling berhubungan dengan berbagai orang dari belahan dunia ketika seorang programer komputer dari Universitas Harvard, Mark Zuckerberg (Jesse Eisenberg), meluncurkan sebuah website jejaring sosial dengan potensi untuk mengubah tatanan masyarakat dunia.

Zuckerberg menjadi milyuner dan menikmati kesuksesan hidup. Meski demikian, dibalik kesuksesannya, Zuckerberg harus membayar mahal dengan kehidupan pribadinya yang menderita karena sengketa hukum dan kenyataan pahit lima ratus orang temannya yang awalnya mendukung ia hingga ke puncak karir akhirnya mengkhianatinya

Pemilihan musik latar yang bernuansa techno di film ini sepertinya cocok mewakili kegalauan alam pikir masyarakat digital saat ini. Digarap apik oleh Trent Reznor (eks Nine Inch Nails) berdua dengan Atticus Ross sukses meraih Academy Award untuk Best Original Score. Kerjasama mereka dengan sutradara David Fincher terus berlanjut belakangan mereka menggarap latar untuk film The Girl with The Dragon Tattoo.

Flute & Violin Recital oleh Sarah Tunggal, Arya Pugala Kitti, dan Mutia Dharma

Page Turner (2)

$
0
0
Ini adalah kali kedua saya didaulat menjadi petugas pembalik halaman partitur alias page turner. Ini kali kedua juga saya merasa harus menuliskannya karena betapa pengalaman ini sedemikian berkesan.
Pengalaman pertama datang setahun lalu tepatnya tanggal 3 Desember 2011. Waktu itu di Surabaya, debut saya tak tanggung-tanggung: Menjadi page turner bagi resital yang melibatkan dua pemain berkelas, yang satu adalah Urs Bruegger, klarinetis asal Swiss, dan Ratnasari Tjiptorahardjo, pianis Indonesia domisili Australia. Ketegangan yang dialami luar biasa, terutama disebabkan itu merupakan pengalaman pertama. Pada akhirnya, kegiatan membulak balik halaman itu berlangsung cukup lancar -Ibu Ratna mencatat saya satu kali terlambat membalik-. Saya mendapat kesimpulan istimewa: Inilah posisi VVIP dalam apresiasi musik klasik. Tidak ada senot pun yang terlewat untuk diapresiasi. Adrenalin khas konser pun mau tak mau ikut ditularkan pemain, sehingga saya terseret untuk tegang. 
Kesempatan kedua kali baru saja datang tadi malam. Pianis Mutia Dharma meminta saya untuk membukakan tiga dari empat karya yang dibawakan malam itu. Resital Sarah Tunggal (flute) dan Arya Pugala Kitti (biola) tersebut membawakan komposisi dari Bach, Schubert, Dvorak, dan Faure. Dengan penuh rasa syukur, sekali lagi saya mendapatkan kesempatan untuk duduk di samping pianis dan merasakan aura konser secara utuh penuh. Liukan sahut menyahut ala Bach, sentimentalitas Schubert, serta keluasan Dvorak -bagai ia sedang memandangi tanah baru bernama Amerika yang penuh harapan- sanggup dinikmati tanpa kehilangan satu not pun. Sayang sekali saya tidak kebagian menikmati Faure dari tempat istimewa tersebut, padahal sungguh saya ingin mengapresiasi geliat scale janggal yang penuh kejutan dari sang impresionis. Rasa ngantuk yang sebelum konser sempat melanda, hilang entah kemana -berubah menjadi terjaga sepenuhnya-.Terdengar jelas bagaimana sang pianis sesekali berdecak kesal, bernapas tersengal, hingga melepaskan napas penuh kemenangan. Saya belum kehilangan nikmat itu, sebagaimana setahun lalu saya mendapati karya-karya Poulenc, Verdi dan Schumann bisa dikonsumsi tanpa sedikitpun gizinya terbuang. 
Foto diam-diam dari posisi page turner di samping Mutia Dharma.











Posisi page turner barangkali sedang dalam ancaman disebabkan keberadaan tablet yang sejumlah pianis sudah mulai menggunakannya. Partitur ditampilkan dalam tablet sehingga untuk membaliknya tinggal disentuh saja. Saya bisa paham jika lama-lama page turner tak digunakan. Selain digantikan teknologi, keberadaannya juga kerap mengganggu pemandangan dan tetap menyisakan kemungkinan human error yang fatal. Tapi sebelum kita ucapkan selamat tinggal pada posisi page turner ini dalam sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, saya akan sekali lagi bertestimoni: Inilah posisi terbaik dalam apresiasi musik klasik. Kalian yang sanggup membaca notasi secara cepat, seyogianya pernah mencoba duduk di sana. Sebelum istilah page turner tinggal sejarah.
 

Dua Lagu Baru untuk RGB

$
0
0
Minggu, 23 Desember 2012

Meskipun rata-rata aktivitas di Tobucil sudah mulai libur akhir tahun, grup Ririungan Gitar Bandung (RGB) belum juga mau menyerah. Mereka masih tetap berlatih rutin seperti biasanya. Hal ini tentu saja didorong oleh kenyataan bahwa mereka harus konser di bulan Maret nanti. Kata sang ketua, Sutrisna, "Persiapan tidak boleh longgar."


Konser yang akan digelar Maret nanti, seperti yang sudah diberitahukan sebelumnya, akan bertemakan lagu-lagu The Beatles. Setelah cukup lancar dengan sejumlah stok lagu seperti Drive My Car dan Come Together, RGB mendapatkan asupan lagu baru yaitu Let It Be dan Imagine. Meski Imagine adalah lagu yang digubah setelah John Lennon lepas dari The Beatles, namun karya tersebut tetap dilatih. Hanya dihadiri enam orang, RGB tetap bersemangat. Terbukti dengan karya Let it Be yang sukses dibaca hingga akhir. Imagine tidak langsung dilatih karena peserta tidak memenuhi kuorum -Imagine diaransemen untuk delapan gitar!-.


Meski waktu konser sudah dekat, RGB ini mengandung sejumlah persoalan. Misalnya, jumlah peserta yang hadir terlalu sedikit dan jauh di bawah peserta konser tahun 2009 silam yang mencapai lebih dari sepuluh. Padahal, keanggotaan RGB kali ini sudah sangat murah, yakni lima ribu per bulan -bandingkan dengan tahun 2009 dimana kebijakan administrasi diterapkan lima puluh ribu untuk tiga bulan-. Untuk RGB kali ini, sebenarnya jumlah repertoar serta kesempatan tampil pun cukup meningkat. Dalam sebulan terakhir, RGB sudah main di dua acara publik yakni Car Free Day Buahbatu dan sebuah acara sekolah musik di Metro Trade Centre. 

Memang kehadiran yang secara kuantitas sedikit ini, sama sekali tidak menyurutkan semangat peserta. Namun alangkah indahnya jika label 'ririungan' sejalan dengan kuantitas yang cukup. Setidaknya dari sudut pandang penonton, kelihatan bahwa yang tampil di atas panggung begitu meriah, semangat, dan terkesan para gitaris sedang bersilaturahim: 'ngariung' sambil bercanda tawa. 

Violin & Viola Recital Satryo Aryobimo Yudomartono


Catatan di Tahun Ketujuh

$
0
0
KlabKlassik tanpa terasa berulangtahun yang ketujuh di bulan Desember 2012 kemarin. Berdiri sejak 9 Desember 2005, KlabKlassik rutin menyelenggarakan sejumlah kegiatan baik dalam bentuk komunitas mingguan maupun konser-konser. Berikut sejumlah catatan kegiatan KlabKlassik di tahun 2012:

1. Konser-Konser
Di tahun 2012, KlabKlassik termasuk aktif mengadakan sejumlah konser. Bulan Januari langsung dibuka dengan Resital Empat Gitar, bulan-bulan berikutnya berentetan konser-konser menarik semisal konser Anime String Orchestra, Resital Piano Levi Gunardi, Classical Guitar Fiesta 2012, Resital Gitar Jardika Eka dan Syarif Maulana, dan Resital Oboe Afdhal Zikri. Kecuali Resital Piano Levi Gunardi yang diadakan di gedung Dana Mulia, konser-konser lainnya diselenggarakan di Auditorium CCF Bandung yang sekarang sudah berganti nama menjadi IFI.

2. Konsistensi Kegiatan Komunitas
Penyelenggaraan kegiatan komunitas mingguan yang berlangsung di Tobucil mendapatkan angin segar seiring dengan konsistensi dan penjadwalan yang baik. Minggu pertama libur, minggu kedua untuk Edisi Nonton garapan Yunus Suhendar, minggu ketiga untuk Edisi Playlist garapan Adrian Benn, sedangkan minggu keempat adalah Edisi Bincang-Bincang yang dipimpin oleh Diecky K. Indrapraja. Penyelenggaraan ini berlangsung konsisten dan menciptakan topik-topik yang menarik minat seperti membahas music scoring film 2001: Space Odyssey, Malena, dan Social Network. Sedangkan Edisi Playlist yang sudah berlangsung sejak tahun lalu, sekarang mulai dikenakan sejumlah tema seperti Blacklist Wedding Song, Musik Indonesia tahun 2000-an atau Merayakan Kehidupan sehingga lagu yang dibawa menjadi lebih terspesifikkan. KlabKlassik Edisi Bincang-Bincang bertemakan topik-topik musik yang amat luas mulai dari Psikedelik, Ska, hingga Black Metal. Imbasnya, sejumlah peserta yang datang ke KlabKlassik pun semakin beragam.

3. Perginya Sejumlah Punggawa
Meski di awal hingga pertengahan tahun cukup stabil dan konsisten, menjelang akhir terdapat semacam cobaan yaitu perginya empat punggawa KlabKlassik secara hampir bersamaan. Afifa Ayu ke Jepang, Diecky K. Indrapraja menikah dan tinggal di Pontianak, Bilawa Ade Respati ke Jerman, dan Rahar Palsu ke Prancis. Kepergian empat orang yang cukup krusial bagi penyelenggaraan komunitas ini, menimbulkan guncangan sesaat sehingga kegiatan sempat diliburkan beberapa minggu. Namun di akhir tahun, KlabKlassik kembali aktif lewat latihan gitar bersama Ririungan Gitar Bandung.

Konser Lintas Batas dari Bimo

$
0
0
Sabtu, 5 Januari 2013

Tahun 2013 baru memasuki hari kelima, Bandung sudah mulai diramaikan oleh konser musik klasik. Yang tampil adalah Satryo Aryobimo Yudomartono, pemain biola asal Bandung yang bersekolah di Prancis -lantas pulang ke Indonesia setahun sekali untuk salah satunya mengadakan resital-. Seperti halnya tahun sebelumnya, Bimo -panggilannya- tidak hanya sekedar menampilkan karya-karya klasik, melainkan juga melakukan berbagai aksi panggung.

Sesi pertama berlangsung serius. Bimo memulainya dengan bermain solo karya Telemann. Setelah itu, ia dan Nesca Alma (piano) berduet menampilkan sejumlah karya dari Schumann, Henry Vieuxtemps, dan Arvo Pärt. Konser ini berlangsung dalam suasana gerah karena penonton yang membludak. Hal ini salah satunya disebabkan oleh sistem pemberian harga tiket yang bebas tergantung apresiasi penonton. Konser ini tidak seperti umumnya yang mana selalu punya harga tiket tetap yang harus ditaati penonton agar bisa masuk.


Setelah sesi pertama yang berlangsung "seperti konser musik klasik pada umumnya", di sesi kedua -setelah break selama dua puluh menit-, Bimo menggebrak dengan sejumlah karya populer baik dari genre reggae, R & B, hingga dangdut. Di posisi piano, kali ini duduk Fero Aldiansyah. Bimo juga mengajak seorang pemain perkusi bernama Irene Edmar Wirawan. Bimo tidak henti-hentinya bercanda dan berjoged di atas panggung membawakan karya-karya seperti Keong Racun, Umbrella, I can Do It, Autumn Leaves, hingga Bamboleo. Pada mulanya, ia menyuguhkan semacam transisi dengan membawakan sejumlah karya klasik yang dibawakan dalam format medley

Meski penuh dengan humor, namun Bimo tetap menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemain yang mumpuni. Karya-karya klasik yang dibawakannya di sesi satu adalah karya-karya yang membutuhkan teknik 
baik. Pada sesi kedua, meski sudah menampilkan sesi penuh canda, namun Bimo masih menunjukkan kelasnya lewat improvisasi, permainan efek bebunyian, kecepatan tangan, dan tentu saja eksplorasi aksi panggung. 

Konser musik klasik semacam ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Ada yang memilih untuk tidak dikategorikan sebagai konser musik klasik karena karya-karya yang ditampilkan tidak lagi identik dengan karya-karya dari periode Renaisans hingga Romantik. Ada juga yang masih tetap merasakan bahwa konser tersebut menarik karena justru mengambil semangat musik klasik untuk kemudian didekonstruksi sehingga mengandung unsur kontemporer. Memang harus diakui, di era sekarang -yang katanya posmodern-, sejumlah narasi yang dulunya berdiri sendiri-sendiri sekarang bisa ditabrakkan, dilebur sesuka hati. 

RGB Membludak Lagi!

$
0
0
Minggu, 13 Januari 2013

Setelah mengalami kelesuan serius menjelang berakhirnya tahun 2012, ternyata lambat laun RGB bergairah di awal tahun 2013 ini. Minggu sebelumnya, hanya dua orang baru saja yang mewarnai formasi RGB. Namun minggu kemarin, amunisi bertambah menjadi total dua belas personel. 

Kegiatannya menjadi tidak hanya latihan bersama, namun personel berlimpah ini membuat kegiatan juga mencakup diskusi dan pelajaran singkat. Beberapa orang baru yang dirasa belum terlalu lancar, diajari oleh yang lebih senior beberapa saat. Sehingga ketika bermain kembali, mereka yang belum lancar, menjadi pelan-pelan dapat ikut serta berbaur. 

Tidak hanya lagu Let it Be yang saat ini tengah dilatih, melainkan juga kemarin berlatih duet dari Dodi dan Rendy memainkan lagu Penny Lane. Meski belum dimainkan hingga rampung, namun terasa sekali bahwa aransemen karya tersebut memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi -sebagai keterangan, sang pengaransemen adalah komposer besar asal Kuba, Leo Brouwer-. 

Awan gelap yang dulu sempat menggelayuti kelompok ensembel ini pun pelan-pelan menyingkir. Ada fajar baru terbit lewat cerahnya suasana latihan kemarin.


Catatan tentang Konser Musik Klasik di Bandung

$
0
0
Entah kenapa, saya merasa perlu untuk menuliskan hal ini. Dalam setidaknya lima atau enam tahun terakhir, konser musik klasik di Bandung mengalami peningkatan kuantitas yang tajam. Classicorp Indonesia dan KlabKlassik menjadi dua penyelenggara yang secara konsisten menyajikan pertunjukkan paling sedikit dua bulan sekali.

Pada awalnya, ada semacam perjanjian tak tertulis tentang artis siapa yang disajikan oleh masing-masing baik Classicorp maupun KlabKlassik. Classicorp -yang dipimpin oleh pianis Mutia Dharma- menyajikan lebih banyak musisi mancanegara, sedangkan KlabKlassik mewadahi musisi lokal terutama yang masih dalam kategori potensial. Namun makin kesini, batas-batas tersebut agaknya menjadi lebur. Classicorp melirik musisi lokal-potensial untuk ditampilkan secara berkala. Mereka juga membuat program semacam open stage untuk siapapun yang mau tampil. Hal ini justru dilakukan KlabKlassik di awal-awal. Lewat acara semisal Classical Guitar Fiesta dan Soirée Française, KlabKlassik mencoba menampung peserta konser dari pihak manapun. Sekarang ini seolah-olah ada pertukaran: KlabKlassik, seperti halnya apa yang dilakukan oleh Classicorp sejak lama, menjadi penyelenggara bagi pertunjukkan musisi lokal-profesional maupun mancanegara.

Sekarang ini baik Classicorp dan KlabKlassik, keduanya berkembang secara dinamis. Konser-konser yang diselenggarakan menjadi tidak lagi bergerak di isu profesional-amatir atau lokal-mancanegara, melainkan lebih pada bagaimana format penyajian konser musik klasik itu sendiri. KlabKlassik sepertinya sejak awal mula sedikit lentur soal ini. Tercatat ada beberapa pertunjukkan yang digelar dalam suasana yang cair dan kadang penuh nuansa humor. Sebagai catatan, secara stereotip kita tahu bahwa konser musik klasik kerapkali identik dengan suasana yang tegang, kaku, dan cenderung dingin. Ini tentu mempunyai tujuan tersendiri. Ada semacam upaya pengondisian agar musik yang dihasilkan oleh pemain sampai dengan lengkap ke telinga penonton tanpa distorsi bunyi-bunyi lainnya. Aura pertunjukkan konser musik klasik dibuat senyap agar apresiasi menjadi maksimal.

Kembali ke format penyajian, ada beberapa konser musik klasik di Bandung yang disajikan secara "tidak sesuai kaidah". Secara narsistik, saya harus akui bahwa resital saya sendiri termasuk dalam kategori pertunjukkan musik klasik non-konvensional. Saya melemparkan humor sangat banyak dan mungkin menjadi kontroversial bagi mereka yang terbiasa dengan konser-konser tradisional. Kemudian Classical Guitar Fiesta juga termasuk konser yang tidak bisa tidak, disajikan secara santai dan penuh canda. Yang terbaru tentu saja resital biola Satryo Aryobimo Yudomartono yang menurut saya sangat cutting-edge. Ia bermain humor tidak saja di tataran verbal tapi juga musikal. Bimo, panggilannya, dengan sangat konseptual menyusun satu pertunjukkan yang harus saya katakan sebagai avant-garde. Bukan karena penggunaan mikrotonal atau twelve tone series, tapi karena ia dengan berani menghajar batas-batas dalam pertunjukkan musik klasik untuk kemudian menggantinya dengan pertunjukkan yang "tidak masuk dalam kategori-kategori apapun".

Bebauan ini agaknya tercium oleh Classicorp yang selama ini dikenal menerapkan format pertunjukkan musik klasik yang baku. Hal ini tentu saja bukan suatu kekurangan. Justru publik Bandung disuguhi pelbagai pertunjukkan yang amat dinamis: Satu yang avant-garde dari KlabKlassik, satu lagi yang pakem dari Classicorp. Susah sekali untuk memahami yang avant-garde jika tanpa mengetahui apa yang sebelumnya baku. Meski demikian, ada kecenderungan Classicorp belakangan mulai ingin menabrak batas-batas itu sendiri. Saya melihat, meski ini kejadian tidak besar, dalam konser sekitar sebulan silam, Mutia Dharma, Arya Pugala Kitti, dan Sarah Tunggal, berkonser bertelanjang kaki memainkan karya-karya Bach, Dvorak, Schubert dan Faure. Tentu saja, meski cuma urusan sepatu, ini sebuah terobosan. Sepatu, kita tahu, sudah lekat artinya dengan formalitas pertunjukkan musik klasik.

Belakangan juga saya mendapatkan undangan dari Mutia untuk tampil di acara Classical Revolution. Saya tidak tahu persis apa yang akan terjadi di konser yang punya judul menarik tersebut. Namun dengan lokasi penyelenggaraan yang tidak lagi di gedung pertunjukkan resmi melainkan di café -plus desain poster yang tidak konvensional-, agaknya Classicorp mulai menunjukkan kecenderungan mengadopsi posmodernisme pelan-pelan. Posmodernisme adalah suatu pemahaman mutakhir tentang bagaimana menerima dunia yang sudah semakin majemuk. Modernisme selalu ingin mendefinisikan sesuatu secara ketat dan membatasinya dengan tembok-tembok tebal. Posmodernisme meruntuhkan itu semua oleh sebab suatu kenyataan tak terbantahkan: Dunia tak lagi pantas dipisah-pisah oleh tembok tebal. Konser musik klasik tidak harus melulu seperti itu dan seperti ini. Konser musik klasik boleh begini boleh begitu, asal saja esensi yang terkandungnya tidak luntur sama sekali.

Juga, selain soal posmodernisme, ada kecenderungan juga baik Classicorp maupun KlabKlassik mulai memahami bagaimana kecenderungan penonton di Bandung yang rasanya memang lebih suka sajian yang lebih santai. Setelah beberapa kali menyajikan pertunjukkan musik klasik konvensional, agaknya harus diakui bahwa dalam masyarakat terkandung semacam sosio-kultural yang khas di masing-masing wilayah. Ada memang wilayah yang bisa kita jejali musik klasik konvensional secara padat, keras, dan apa adanya. Ada juga wilayah yang untuk menjejalinya kita harus membuatnya menjadi bubur terlebih dahulu agar menyuapinya menjadi mudah.

Komentar ini adalah semacam kegembiraan, optimisme, dan keharuan akan bagaimana kedua penyelenggara ini ternyata ikut bergerak bersama jaman. Ada suatu pepatah latin berbunyi tempora mutantur, nos et mutamur in illis. Artinya, waktu berubah, dan kita ikut berubah di dalamnya. Sekarang adalah tentang bagaimana musik klasik tetap lentur bersama jaman yang bergerak cepat.

Syarif Maulana

Ririrungan Gitar Bandung di Acoustic Guitar Night UPI

$
0
0
Kamis, 7 Februari 2013

Ririungan Gitar Bandung (RGB), sekalian dalam rangka persiapannya menjelang konser tanggal 2 Maret, menerima tawaran tampil dari anak-anak mahasiswa seni musik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). 

Acara yang diberi tajuk Acoustic Guitar Night tersebut ternyata bukan acara sembarangan. Tempatnya di aula cukup besar dengan sound system mumpuni dan suasana yang dibuat khidmat. Jumlah penampil pun cukup banyak dan atraktif mulai dari format solo gitar, duet, trio, hingga ensembel. RGB tentu saja menampilkan lagu-lagu yang sedang dipersiapkan sebagai amunisi untuk menghadapi konser menampilkan The Beatles bulan depan. Selain RGB, KlabKlassik juga menampilkan Kristianus Triadisusanto dan duet Rendy - Dodi sebagai penampil. Kris memainkan Tears in Heaven sedangkan Rendy - Dodi menampilkan repertoar yang akan dimainkan kelak yaitu Fool on The Hill dan Penny Lane. RGB sendiri memainkan dua lagu. Yang pertama berjudul If I Fell, yang kedua berjudul Let it Be. Dengan adanya even ini, semoga RGB semakin siap menghadapi konser "sesungguhnya" di awal Maret.

Penampilan solo Kristianus.

Duet Rendy dan Dodi.

Syarif sedang memerhatikan persiapan RGB sebelum naik panggung.

Trisna memimpin persiapan RGB.

Trisna dan Kris, duo pembina RGB.

Latihan RGB di tangga.

Meski cuma latihan, Lalang terlihat sangat menghayati.

Penampilan RGB di panggung Acoustic Guitar Night.

Resital Piano Empat Tangan Lendi - Danang: All Schubert Recital

Ririungan Gitar Bandung Main The Beatles!

$
0
0

Sabtu, 2 Maret 2013
Auditorium IFI - Bandung
Jl. Purnawarman no. 32
Pk. 19.00 - 21.00
Harga Tiket Diserahkan pada Penonton
Informasi: Syarif (0817-212-404)

Pengantar

Sebelum acara ini, lebih dari setahun lalu ada konser serupa di Bandung yang digagas oleh Haryo Yose Soejoto. Idenya mirip: Mengangkat karya-karya dari kelompok musik era 60-an dan 70-an melalui instrumen dan format yang secara stereotip biasa digunakan untuk memainkan karya-karya musik klasik. Bedanya, Yose mengangkat lebih banyak kelompok musik dengan genre spesifik yaitu rock. Karya-karya dari Led Zeppelin, Jimi Hendrix, dan Emerson Lake and Palmer secara apik dipresentasikan oleh orkestra yang dibina olehnya, yakni Anime String Orchestra (Astro). Seperti yang diduga sebelumnya, pertunjukkan semacam itu sukses mendatangkan dua komunitas sekaligus: Mereka yang gemar musik klasik, dan mereka yang gemar musik rock.

Ririungan Gitar Bandung (RGB) tentu saja tidak bisa kita samakan levelnya dengan Astro. Nama yang terakhir disebut adalah kumpulan pemain profesional yang bergabung dalam satu wadah yang dikelola oleh komposer, arranger, dan konduktor berkelas seperti Yose. RGB bisa dibilang merupakan ensembel gitar yang terkandung di dalamnya dominasi pemain yang dapat dikatakan amatir. RGB memang dibuka untuk siapa saja dan cenderung ditujukan bagi siswa-siswi yang masih belajar gitar klasik agar mereka menemukan komunitas untuk berbagi. Dengan level permainan yang belum bisa dikatakan mahir, RGB mencoba untuk "mengejar" konsep brilian dari Yose untuk sama-sama merepresentasikan kelompok musik yang -tidak berdosa jika kita katakan bahwa taraf kesejarahan dan pengaruh yang dihasilkannya- sama-sama bisa kita sematkan label "musik klasik", yakni The Beatles.

Konser Ririungan Gitar Bandung Main The Beatles yang seolah-olah "cross-over" ini seringkali punya alasan klise yang dibuat-buat seperti "berupaya membumikan musik klasik". Saya bukan termasuk ke dalam golongan yang berkata, "Sebelum kamu dengerin Bach, Dvorak, atau Rachmaninoff, coba deh dengerin dulu orkestra yang maenin OST Twillite atau permainan piano David Foster." Mengapresiasi musik klasik seringkali lebih banyak menemui kegagalan jika melalui gerbang masuk musik pop. Memang bisa saja dalam tataran instrumentasi, kita membiasakan diri dengan bunyi piano ataupun orkestra dengan karya yang simpel sebelum memasuki rimba kerumitan musik era Renaisans hingga Romantik. Namun upaya semacam itu sering mentok ketika mulai bersentuhan dengan harmoni, progresi, kadens, dan term-term musikal yang lebih kompleks. Untuk memahami keruwetan musik klasik rasanya tidak cukup dengan selewat-selewat mendengarkan musik pop. Musik klasik, untuk menyentuh "inti persoalan"-nya seringkali kita perlu memahaminya via sejarah, seni, sastra, dan sejumlah amunisi teori musik yang kontekstual dengan si musik itu sendiri.

Konser RGB ini, meski dilatari oleh sebagian besar pemain yang berlatarbelakang gitar klasik, namun tidak ada semacam tendensi bahwa tujuan diselenggarakannya adalah dalam rangka membumikan musik klasik. Terlalu naif jika katakan bahwa musik klasik haruslah membumi -sama seperti kita menyuruh musik Chick Corea diputar di radio anak muda atau lukisan Jackson Pollock diwajibkan dipahami oleh para seniman Jelekong. Musik klasik harus dikenal seluas mungkin tentu saja iya, tapi keluasan ini jika tidak dibarengi pemahaman yang mumpuni akan jadi eksklusivitas kosong dan yang terjadi malah penyalahgunaan.

Jika demikian halnya, apa tujuan dari konser RGB ini? Kami tidak punya alasan yang rumit-rumit dan dibuat-buat. Kami hanya ingin memberikan penghormatan setinggi-tingginya bagi band yang sudah mengubah wajah dunia dalam lima puluh tahun terakhir. Kami hanya ingin memanjatkan doa sekaligus berterima kasih atas musik-musik dari John, Paul, George, dan Ringo yang secara harmoni dan progresi jauh dari kerumitan musik Bach, tapi dibuat dengan ikhtiar keras dan jiwa yang ditumpahkan setumpah-tumpahnya. Kami juga ingin RGB belajar dari sari-sari perjuangan The Beatles, bahwa rumit itu tidak selamanya penting. Ketika kamu bermain dengan jiwa dan hati yang bertujuan demi keluhuran estetika itu sendiri, kamu akan didengar. Kamu akan mendunia.

Tentang Ririungan Gitar Bandung

Ririungan Gitar Bandung (RGB) adalah kelompok ensembel gitar untuk umum yang didirikan pada bulan Januari 2009. Ensembel yang berada di bawah payung KlabKlassik ini, menyelenggarakan latihan secara rutin seminggu sekali di bawah binaan Sutrisna, Kristianus Tri Adisusanto, dan Yunus Suhendar. Sistem latihannya yang terbuka untuk umum membuat RGB diisi oleh orang-orang dari beragam usia dan latar belakang. Pada bulan November 2009, RGB tampil di konser tunggal perdananya dengan tajuk Ririungan Gitar Bandung: Maen!. Setelah itu, RGB rutin tampil di acara-acara seperti konser sekolah musik, acara-acara komunitas serta penampilan di ruang publik. Setelah hampir empat tahun tidak menyelenggarakan konser tunggal, RGB berencana kembali menggelarnya di awal tahun 2013 dengan tajuk Ririungan Gitar Bandung Main The Beatles.

Personel RGB dalam konser menampilkan karya-karya The Beatles ini adalah: Ilalang Dzahira Anwar, Nasrullah Putra, Rendy Lahope, Adli Sabila Jannatul Ma'wa, Edo Persadanta, Johanes Dodi, Alkautsar Purnama Agung, Kristianus Tri Adisusanto, Prabu Perdana, Deni Ramdani, Bagas Budi Widya, Trisna Karisma, Tubagus Pandu Mursahdo.





Karya-Karya yang Akan Ditampilkan

Tidak hanya RGB, konser ini juga akan menampilkan Ammy Alternative String, Bandung Guitar Society, Minorchy BNZ, Royke Ng Kuartet, Andi Danial - Syarif Maulana, dsb yang akan menampilkan karya-karya The Beatles seperti:

Because
Blackbird
Come Together
Drive my Car
Eleanor Rigby
Fool on The Hill
From Me to You
Hey Jude
If I Fell
In My Life
I Saw Her Standing There
I Want to Hold Your Hand
Let it Be
Long and Winding Road
Norwegian Wood
Penny Lane
Yesterday






Ririungan Gitar Bandung Latihan di Garasi10

$
0
0
Senin, 26 Februari 2013



Biasa rutin berlatih di Tobucil, kelompok ensembel gitar Ririungan Gitar Bandung (RGB) kali ini memilih untuk latihan di Garasi10. Apa gerangan hal yang menyebabkan RGB mesti pindah tempat latihan?

RGB akan menjalani konser cukup serius di akhir minggu ini tepatnya 2 Maret. Mereka membutuhkan waktu latihan yang lebih sering. Ketika waktu yang tersedia bagi para peserta ensembel ini hanya di malam hari, maka diputuskan bahwa latihan dilakukan tidak di Tobucil. Alasannya, Tobucil biasanya sudah harus mengakhiri aktivitas di pukul delapan malam. Disertai sejumlah catatan untuk merendahkan volume suara kegiatan ketika hari sudah melewati maghrib.

Di akhir minggu ini, RGB akan tampil di konser yang khusus memainkan karya-karya dari band legendaris asal Liverpool, The Beatles. Empat lagu dipersiapkan oleh ensembel gitar yang didirikan tahun 2009 ini yakni Come Together, If I Fell, Let It Be, dan Drive My Car. Total dua belas gitaris meramaikan Garasi10 dari mulai pukul lima hingga sembilan malam. Rentang usia dari dua belas orang itu amat beragam mulai dari yang terkecil, Ilalang, yang masih kelas lima SD hingga Rendy dan Dody yang sudah selesai kuliah. Semuanya berlatih dengan penuh semangat dan penuh canda tawa terutama karena celotehan Ilalang yang meski masih SD namun sering membuat pernyataan yang membuat peserta lain geleng-geleng kepala saking cerdasnya.

Representasi Kehidupan Schubert Via Piano Empat Tangan

$
0
0
Jumat, 23 Februari 2013

Resital Piano Empat Tangan Lendi - Danang: All Schubert Recital berlangsung apik. Penampilan duet guru-murid memainkan karya-karya Franz Schubert ini dibagi dalam dua sesi yang menampilkan kekontrasan karakter karya sang maestro. Sesi pertama memainkan karya berdurasi empat puluh menit yang dibagi dalam empat bagian berjudul Grand Duo. Karya yang berkarakter amat simfonik ini komposisinya cukup kompleks dan sulit untuk ditangkap melodinya. Keduanya bermain apik meski harus berhadapan dengan lagu yang membutuhkan teknik tinggi. Yang menarik, sebelum mulai memainkan karya, Danang secara fasih menyampaikan tetek bengek mengenai karya ini terlebih dahulu. Pemaparannya cukup panjang, hampir sepuluh menit. Meski demikian, penonton jadi paham bagaimana mengapresiasi karyanya.

Sebelum mulai mereprensentasikan karya, masing-masing pemain diberi kesempatan memberi pemaparan.
Sesi dua berlangsung sebaliknya. Karya Rondo in A Major dan Fantasia in F Minor adalah lagu yang amat melodius. Lagu yang melodinya mudah ditangkap ini, menurut pemaparan Pak Lendi, justru diciptakan menjelang akhir hayat Schubert yang usianya relatif pendek (32 tahun). Artinya, Schubert menurunkan kompleksitas komposisi dibandingkan ketika ia berusia muda. Meski demikian, kesederhanaan komposisinya ini tidak lantas membuat karya-karya "Schubert akhir" kehilangan kedalaman. Resital Schubert ini, dengan gabungan antara permainan dan pemaparan, sepertinya sukses "menghadirkan" sang maestro ke tengah-tengah penonton yang mengapresiasi di Auditorium IFI - Bandung. 

Guru-murid melebur membawakan karya sang maestro era Romantik.

Iswargia R. Sudarno (Lendi) adalah pianis jebolan Manhattan School of Music yang pernah berguru pada pianis kenamaan dunia seperti Hansjorg Koch, Bela Siki, Rita Sloan, Gabriel Chodos dan Robert Levin. Aktivitasnya sekarang adalah lebih banyak mengajar dan menghasilkan sejumlah pianis muda berprestasi. Danang Dirhamsyah adalah salah satu murid yang diajarnya di Universitas Pelita Harapan. Danang adalah peraih Gold Prize di Asia International Piano Academy and Festival di Korea tahun 2012 dan dianugerahi Special Jury Prize. Meski usianya masih sangat muda (kelahiran tahun 1990), Danang tampak tidak canggung sama sekali bermain dengan gurunya. Mereka malah melebur, menjadi satu, mempresentasikan dengan baik karya-karya sang maestro Era Romantik yang pada masa mudanya amat disayang oleh dua komposer besar: Antonio Salieri dan Ludwig van Beethoven.
 
Akhir yang menyenangkan.

RGB Main The Beatles: Dari Latihan di Beranda ke Panggung yang Nyata

$
0
0
Sabtu, 2 Maret 2013

Kerja keras Ririungan Gitar Bandung (RGB) yang berlatih setiap minggunya di beranda Tobucil sejak enam bulan terakhir terbayar jua. Mengusung konsep memainkan lagu-lagu The Beatles, para pemain yang berjumlah sebelas orang tersebut berhasil menuntaskan empat karya dalam konser yang digelar Senin lalu di Auditorium IFI.
Karena empat lagu dirasa terlalu singkat untuk sebuah konser, maka RGB mengundang sejumlah penampil lain dalam berbagai format untuk meramaikan. Setelah video pembukaan dari Diecky selama kurang lebih sembilan menit -Diecky khusus mengirim dari Pontianak!- yang berkisah sedikit tentang sejarah The Beatles dan pengaruh musiknya terhadap dunia, acara langsung dibuka dengan penampilan solo Ilalang Dzahira Anwar memainkan karya Yesterday. Setelah lagu yang cukup pendek itu, berturut-turut masuk penampil solo lainnya yakni Dudy Arifullah dan Alkautsar Purnama Agung yang membawakan The Long and Winding Road dan I Want to Hold your Hand. Keduanya sukses memainkan karya tersebut secara apik.
Dudy Arifullah memainkan Long and Winding Road.
Setelah habis penampilan solo, acara konser RGB Main The Beatles sekarang memasuki sesi ensembel. Duet Prabu Perdana dan Deni Ramdani tampil syahdu membawakan karya The Beatles yang terkenal dengan harmonisasi vokal Lennon dan McCartney yakni Because. Setelah Prabu-Deni, kemudian yang naik panggung berikutnya adalah Johanes Dodi dan Rendy Lahope. Keduanya tampil atraktif memainkan lagu-lagu The Beatles yang diaransemen oleh komposer kenamaan, Leo Brouwer. Dua lagu yang dimainkan Dodi - Rendy adalah Fool on The Hill dan Penny Lane. Lagu yang disebutkan terakhir banyak mengundang tepuk tangan karena penuh dengan liukan-liukan blues
Prabu - Deni membawakan Because.
Setelah dua penampilan duo menghibur penonton, sekarang yang tampil adalah format kuartet. Kuartet Bandung Guitar Society dengan lagu In My Life tampil rapi dengan aransemen yang menyerupai aslinya. Berbeda dengan penampil setelahnya yaitu Royke Ng Kuartet yang tampil dengan aransemen yang betul-betul berbeda. Lagu Hey Jude digarap ulang oleh Cindy (salah satu personel Royke Ng kuartet)  dengan sangat atraktif hingga sanggup membuat penonton ikut bernyanyi di bagian, "Na.. na.. na.. Hey Jude." Setelah Royke Ng Kuartet, hadir kemudian Dodi and Friends yang juga sama-sama mengusung formasi empat orang. Mereka hadir membawakan tiga lagu yakni Blackbird, Eleanor Rigby, dan Can't Buy Me Love.
Royke Ng Kuartet membawakan Hey Jude.
Setelah rehat sekitar sepuluh menit, sekarang tiba bagian dimana yang tampil adalah mereka yang berformat lebih ramai dan beragam. Minorchy Bnz yang merupakan perwakilan Purwatjaraka Batununggal tampil dengan format band lengkap membawakan Hey Jude dan From Me To You. Dengan formasi piano, keyboard, gitar, bass, cajon, tiga biola, dan vokal, rata-rata personel yang merupakan kelahiran tahun 2000-an, cukup baik dalam membawakan karya-karya The Beatles yang populer di era tahun 1970-an dan 1980-an. 
Minorchy Bnz memainkan Hey Jude dan From me To You.
Berakhirnya Minorchy Bnz membawa penonton pada penampilan atraktif dari Ammy Kurniawan. Di lagu pertama, secara mengejutkan Ammy -yang terkenal dengan permainan biolanya- bermain solo gitar memainkan lagu Blackbird. Dengan menggunakan efek, ia tampil apik dengan meramu antara tempo lambat dengan arpeggio ala klasik dan tempo cepat dengan gaya strumming ala bluegrass dan sedikit sentuhan blues. Setelah permainan Ammy yang mengundang decak kagum, ia memanggil muridnya yang bernama Retno. Retno yang memainkan biola, secara atraktif berduet dengan Ammy -yang teguh dengan gitarnya- memainkan satu karya yang beraroma rock n roll cukup kental berjudul I Feel Fine. Yang menarik dari penampilan ini adalah intro pembukanya, yang berupaya menipu penonton dengan menyuguhkan potongan lagu Girl. Setelah duet tersebut, Ammy dipaksa bermain biola oleh penonton. Akhirnya ia pun dengan rela memainkan Norwegian Wood diiringi oleh Syarif.
Ammy dan Retno memainkan I Feel Fine.
Akhirnya perjalanan panjang selama lebih dari satu jam mengantarkan pula pada penampilan puncak yakni RGB. RGB memainkan empat buah lagu yakni Come Together, If I Fell, Let it Be dan Drive My Car. Dengan menggunakan kaos bergambar personel The Beatles, RGB tampil penuh semangat seolah menumpahkan apa yang sudah dilatih selama enam bulan terakhir. Penonton tertawa riuh ketika RGB melakukan sedikit atraksi di akhir lagu Let it Be. RGB mengulang-ulang secara tak terbatas bagian coda sehingga penonton tidak bisa bertepuk tangan. Hal ini memang sengaja dilakukan sebagai aksi panggung. Tak lupa juga, di bagian akhir Drive My Car, RGB juga menyelipkan tema lagu cingcangkeling yang membuat penonton tertawa geli.
Ririungan Gitar Bandung.
Bagi KlabKlassik sendiri, keberhasilan RGB tampil dalam konser sendiri ini adalah yang kedua kalinya setelah tahun 2009. Perlu menunggu hingga empat tahun sampai RGB sanggup tampil atas nama dirinya sendiri. Untuk kelompok ensembel gitar yang dibuka untuk umum, dengan personel yang datang dan pergi, memang konsistensi menjadi hal yang sulit dilakukan. Maka ketika konser RGB Main The Beatles terselenggara dengan sukses, tawa para peserta meledak tanda kelegaan yang luar biasa.

KlabKlassik Edisi Bincang-Bincang: Jazz setelah Post Bop

$
0
0
Minggu, 17 Maret 2013
Tobucil, Jl. Aceh no. 56
Pk. 15.00 - 17.00
Gratis dan Terbuka untuk Umum




KlabKlassik akhirnya memulai kegiatan diskusinya di tahun 2013 setelah beberapa bulan terakhir fokus mempersiapkan ensembel gitar Ririungan Gitar Bandung (RGB) untuk konser. Diskusi pembuka tahun ini adalah tentang jazz -setelah sempat sebelumnya membahas musik psikedelik, black metal, ska dan blues-. Jazz yang dibahas adalah spesifik tentang satu periode yang disebut sebagai "setelah post-bop". Periode "setelah post-bop" ini barangkali dalam kacamata hari ini masihlah sebagai yang paling mutakhir, avant-garde, liar, dan tentu saja cutting edge. Tokoh-tokoh yang akan dibahas adalah Sun Ra, Alice Coltrane, Cecil Taylor, Ornette Coleman, Anthony Braxton, dan John Zorn. Diskusi akan dipandu oleh dua orang narasumber yakni Ismail Reza dan Rahardianto -dua orang yang diam-diam merupakan penikmat jazz kontemporer yang akut-.

Jika ada pertanyaan: Mengapa tidak semua kegiatan KlabKlassik berkaitan dengan musik klasik? Temukan jawabannya di http://www.klabklassik.blogspot.com/2012/10/mengapa-tidak-semua-kegiatan.html

Mencari Wujud Jazz di Era Third Stream

$
0
0
Minggu, 17 Maret 2013


KlabKlassik akhirnya berjumpa untuk pertama kalinya di tahun 2013. Sebelumnya, KlabKlassik tampak fokus untuk menyiapkan konser Ririungan Gitar Bandung sehingga meliburkan dulu berbagai bentuk diskusi yang seyogianya diselenggarakan setiap Minggu sore pukul tiga. Sebagai pembuka tahun ini, KlabKlassik memulai Edisi Bincang-Bincang-nya dengan sebuah topik yang tidak mudah untuk dicerna: Jazz setelah post-bop.

Ismail Reza menjadi narasumber yang cukup antusias dalam menampilkan persoalan ini. Ia menyiapkan sejumlah playlist yang sangat menantang telinga dari peserta diskusi yang berjumlah lima belas orang. Sambil menyetel Caravan-nya Duke Ellington -kita bisa katakan lagu pembuka ini masih cukup bisa diterima telinga karena memang Mas Reza ingin membuai peserta terlebih dahulu-, ia membicarakan tentang periodisasi dalam musik jazz yang meski bisa didefinisikan, tapi tidak bisa seteratur musik klasik yang seolah linear. Post-Bop adalah era dimana jazz memasuki perdebatan tentang apakah rasa swing -ayunan khas jazz- itu harus tersurat atau tersirat pun tidak apa-apa. Mas Reza menyebut istilah swing yang tersirat itu sebagai "jazz in mindframe". Maksudnya, jazz itu cukup dengan apa yang dalam kepala kita disebut jazz. Tidak perlu didefinisikan dengan kata-kata.

Di era Post Bop ini, jazz mulai berani melangkahkan kakinya ke era yang disebut third stream. Suatu gelombang yang belum diketahui identitasnya setelah first stream (musik klasik) dan second stream (musik jazz). Tokoh-tokoh semacam John Coltrane, Miles Davis dan Charles Mingus sangat berperan dalam memberi fondasi bagi lahirnya berbagai macam jazz yang lebih eksperimental seperti free jazz dan the avant garde. Untuk melihat cikal bakal third stream ini, Reza secara rapi menyiapkan playlist berupa lagu Charles Mingus yang berjudul Black Saint & Sinner Lady, karya Alice Coltrane yang berjudul Galaxy in Turiya dan karya John Coltrane yang berjudul Stellar Regions. Lagu yang disebut terakhir sesungguhnya di luar playlist yang disiapkan Mas Reza, namun diputar atas permintaan Yuty yang penasaran bagaimana suami-istri John dan Alice Coltrane saling mempengaruhi dari segi ideologi musik.

Telinga peserta mulai "kacau" ketika Mas Reza sudah mulai masuk ke Ornette Coleman. Duetnya dengan Pat Metheny dalam lagu yang berjudul Song X, disebut Mas Reza menggunakan teori harmolodics. Harmolodics ini terdengar sangat bebas dan tidak memiliki acuan "gravitasi". Kata Yuty, "Memang musiknya tidak jatuh pada tonik sebagaimana umumnya." Dampak dari ketiadaan gravitasi ini sesungguhnya adalah kegelisahan pada diri setiap peserta. Umumnya, musik apapun seyogianya kembali ke tema semula atau setidaknya jatuh di "pusat"-nya. Namun Song X itu terus menerus seperti bersikap sengaja untuk tidak harmonis dan masing-masing baik Coleman maupun Metheny berdiri di permainannya sendiri tanpa memedulikan tonalitas.

Berikutnya, Mas Reza tanpa ampun menghantam telinga para peserta dengan karya-karya dari John Coltrane yang berjudul Meditation, John Zorn dengan dua lagu yang berjudul Dens of Sins/Demon Sanctuary dan Hue Di serta Curlew dengan judul Oklahoma. Di lagu-lagu terakhir ini, sulit bagi para peserta untuk menangkap sebelah mana sisi jazz-nya. Mas Reza tetap bersikukuh bahwa free jazz semacam ini beda dengan konsep kontemporer yang ditawarkan oleh para komposer semisal John Cage atau Philip Glass. Meski Yuty mengakui bahwa John Zorn sesungguhnya diakui di dua dunia tersebut (kontemporer dan free jazz). Melihat suasana yang sudah semakin muram, Mas Reza kemudian memutar lagu yang menurutnya berfungsi sebagai detoksifikasi. "Ini karya populer judulnya New York New York," ujarnya mengacu pada lagu yang dipopulerkan oleh Frank Sinatra. Ternyata, New York New York yang dimainkan oleh Django Bates ini sangat jauh dari aslinya. Eksperimentatif, liar, dan sama sekali tidak membuat efek detoksifikasi. 


Dua anak dari jurusan musik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bernama Ayu dan Putri mengungkapkan secara kompak bahwa meski mereka sulit untuk mencerna lagu-lagu yang dibawakan Mas Reza, namun mereka merasa wawasannya jauh bertambah. Rahardianto yang diplot sebagai narasumber kedua -namun karena hadir menjelang diskusi selesai, ia jadi tidak banyak bicara- mengatakan bahwa mendengarkan musik semacam ini akan meningkatkan kepekaan estetis sehingga dapat mencerna lebih banyak musik lagi. Yuty bahkan memberi saran bagi mereka yang sulit untuk menerima musik-musik "aneh", "Tambah lagi ya dosis mendengarkannya setiap hari!" ujarnya sambil disambut tawa para hadirin.



Daftar lagu yang diputar (musisi - album - komposisi):
Charles Mingus - Black Saint & Sinner Lady - Duet Solo Dancers
Alice Coltrane - World Galaxy - Galaxy in Turiya
John Coltrane - Stellar Regions - Stellar Regions
Ornette Coleman - Skies of America - The Artist in America
Pat Metheny & Ornette Coleman - Song X - Song X
John Coltrane - Meditation - The Father and The Son and The Holy Ghost
Naked City - Naked City - Dens of Sins/Demon Sanctuary
John Zorn - New Traditions in East Asian Bar Bands - Hue Di
Curlew - North America - Oklahoma
Django Bates - Winter Truce (and Home Blazes) - New York New York
Sun Ra - Atlantis - Atlantis (excerpt)

Viewing all 90 articles
Browse latest View live